Selasa, 24 Februari 2009

Jalan Yang Berbeda

Tadi pagi bapak datang dari desa. Senang rasanya bisa berjumpa lagi dengan bapak. Rasa kangen yang begitu lama terpedam pagi itu terbayar sudah. Hatiku rasanya sejuk sekali, seakan tanah gersang yang tersiram air hujan semalaman.
Lama tidak berjumpa dengan-nya, aku lihat bapak sudah semakin tua. Rambutnya kini semakin dipenuhi dengan warna putih dan hampir-hampir semuanya sudah menjadi uban, wajahnya semakin keriput meski sekarang lebih sumringah cahayanya. Wajar saja... sebab kini anak-anaknya sudah bisa mandiri. Sudah tidak menjadi beban kehidupannya.
Dulu kami tinggal disebuah dusun kecil dilereng bukit, di daerah paling ujung selatan kota yogyakarta, atau lebih tepatnya Gunungkidul. Tidak perlu aku ceritakan panjang lebar tentang kondisi alam desa tempat kami tinggal dahulu dan orangtua kami sekarang. Semua juga sudah tahu, bagaimana gersang dan tandusnya dusun kami. Dan betapa sulitnya kami mencari sumber air bila musim kemarau tiba. Bahkan tak jarang kami harus berbagi air telaga yang keruh dengan ternak piaraan kami.
Adzan subuh baru saja berlalu setengah jam yang lalu, ketika aku mendengar pintu rumahku ada yang mengetuknya. Ketika itu aku pun masih belum beranjak dari atas sajadah yang baru saja aku gunakan untuk alas shalat subuh. Aku terpaksa menghentikan sejenak tadarusku, untuk memastikan bahwa benar ada yang mengetuk pintu.
”tok... tok.... tok. Assalamualaikum” terdengar suara pintu diketuk dan diikuti oleh salam dari suara yang rasa-rasanya sudah amat aku kenal dan sangat aku rindukan.
”Bapak. Yah.. rasanya itu suara bapak.” gumamku dalam hati sambil bergegas menuju pintu depan.
”Waalaikumsalam.” sahutku ketika sudah memasuki ruang tamu.
Sejurus kemudian pintu telah terbuka, dan aku dapati seorang tua renta. Dengan sweater lusuh dan bawaan yang banyak, mengumbar senyuman dibawah terangnya lampu teras rumahku. Aku tak kuasa menahan emosi, kerinduanku yang teramat sangat dalam kepadanya. Dengan serta merta aku memeluknya dan menitikan air mata dipundak rentanya. Pundak yang tiga puluh tahun silam menjadi tempat aku bergelayutan, bermanja-manjaan bersama ke dua adikku.
Aku terlarut dalam kebahagian yang tak terkirakan dan aku masih memeluk erat bapak, ketika istriku tiba-tiba sudah berdiri dibelakangku tanpa aku sadari.
”Oh.. ada tamu ya mas.” sapa istriku.
”Eh.. iya.. iya dik. Ini Bapak. Bapakku dik” aku melepas pelukan dan menyeka titik-titik air mata yang membasahi kelopak mataku.
”Meniko semah kula Pak.” aku memperkenalkan istriku kepada Bapak.
”Wah... wah.. kowe pancen anak lanang tenan le.” ucap bapak sambil tertawa.
Aku hanya tersipu dan merasa tersanjung dengan sindiran bapak yang menaruh kebanggan berlebihan kepadaku.
”Mari masuk Pak” istriku mempersilahkan bapak untuk segera masuk ke dalam rumah. Aku mengambil barang bawaan bapak dan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Kami berdua kemudian duduk berhadapan di meja makan ruang tengah, sementara istriku ke dapur membuatkan minuman untuk kami.
”Bapak biasanya minum kopi dik” aku memberikan informasi ke istriku setengah berteriak, istriku tidak menjawabnya. Dan memang aku tidak memerlukan jawaban darinya.
”Bapak, kula nyuwun ngapunten dereng saged wangsul sak sampunipun saking Menado.” aku memulai pembicaraan. Ya rasanya aku sangat pantas meminta maaf kepada kedua orang tuaku, yang pada saat pernikahanku tidak bisa hadir. Pada saat itu ibu sedang sakit dan rasanya sangat berat untuk melakukan perjalanan jauh ke ujung utara pulau Sulawesi. Peristiwa yang tak kalah mengharukannya waktu itu karena aku harus memulai babak baru dalam hidupku tanpa disaksikan secara langsung oleh kedua orang yang telah sangat berjasa dalam kehidupanku.
”Wes... le ora dadi apa. Kabeh ngono pancen wes ana sing ngatur. Sing penting awakmu slamet lan tansah pinaringan rahayu saka Gusti Allah.” jawaban bapak yang begitu bijak dan menenangkan hatiku setelah sekian lama dipenuhi perasaan berdosa dan bersalah.
”Le.. bapak iki mau durung kober sholat subuh. Mumpung durung byar... bapak arep sholat dhisik yo.” sambung bapak kemudian meminta waktu untuk melaksanakan sholat subuh, sebab tadi sesampainya di agen bis belum sempat sholat.
”Oh.. inggih... inggih Pak. Mangga wonten kamar ngajeng kemawon.” aku bangkit berdiri dan berjalan mendahului Bapak untuk menunjukkan kamar yang aku maksudkan. Sekalian aku bawa barang-barang bapak untuk disimpan di kamar itu.
”Sing kerdus kuwi tinggalen kene wae le. Kuwi titipane simbokmu, mbuh isine mbuh apa.” bapak memintaku untuk tidak usah mengangkut kerdus warna coklat yang diikat dengan tali plastik warna hitam. Aku pun menuruti kemauannya, dan memang rasanya tidak perlu aku membawa serta kerdus tersebut ke kamar.
”Menika kamaripun Pak. Menawi ajeng wonten wingking, ngagem kamar mandi ikang niku mawon.” aku memberitahukan tempat-tempat yang sekiranya diperlukan oleh bapak sambil menunjuk kamar mandi yang ada di samping kamar tamu.
Meskipun rumahku tidaklah terbilang besar, akan tetapi sengaja ku persiapkan beberapa tempat khusus untuk menginap tamu atau sanak saudara yang kebetulan berkunjung.
”Dik, ini lho dikirimi oleh-oleh sama ibu.” aku membawa kerdus yang tadi aku letakkan diatas meja.
”Apa ini mas?” tanya istriku sambil membuka kerdus yang aku berikan.
”Mungkin kripik pisang raja dan singkong. Itu kletisan kesukaanku” jawabku sambil membantu mengeluarkan isi kardus. Beberapa saat lamanya aku berada didapur bersama istriku, dan tiba-tiba aku teringat sesuatu yang biasanya kami lakukan berdua, shalat berjamaah. Kebetulan tadi aku lihat istriku begitu lelap tidurnya sehingga aku memutuskan untuk tidak membangunkannya. Teringat akan hal itu aku lantas bertanya kepadanya ”Eh... sampeyan sudah sholat subuh belum?”
”Ya sudah mas...” jawabnya sambil tersenyum manis.
”Pinter... ” aku menggodanya sambil menyium keningnya. ”Adik memang istri yang paling cuantikk sedunia” sekali lagi aku cium keningnya dan kemudian aku kembali ke ruang tengah.
Bapak sudah menunggu disitu. Duduk menunggu aku sambil memutarkan padangannya ke beberapa sudut ruangan.
”Mangga dipun unjuk kopinipun Pak” aku duduk dikursi sebelahnya sambil mempersilahkannya untuk meminum kopi yang disediakan oleh istriku.
”Iyoo le. Iki mau wes tak icipi.” jawabnya.
”Kuwi photo ngantenanmu yo le” tanyanya sambil melihat ke bingkai foto yang terpasang di dinding. Foto pernikahanku waktu di Manado.
”Inggih Pak.” jawabku singkat sambil menatap kearahnya. Nampak olehku tatapan nanarnya yang seakan menyimpan sesuatu keharuan, kebahagian dan juga kesedihan sekaligus. Semuanya tersirat jelas dari sorot mata tuanya yang redup dan berusaha disembunyikannya.
”Dos pundi kabaripun emak kaliyan adik-adik wonten dusun Pak?” aku memecahkan keheningan suasana yang sejenak melingkupi kami berdua sambil aku nikmati kopi pahit kesukaanku.
”Simbokmu, wes luwih sehat saikine. Lha yo kuwi terus malah reka-reka gawe kripik barang nalika tak kandani yen aku arep tilik kowe, le” bapak memulai cerita kondisi emak.
”Wah nggih syukur alhamdulillah menawi ngoten.” aku tersenyum bahagai mendengarnya.
”Iyo, ning yo tak penging nandangi gawean akeh-akeh. Wingi kuwi olehe gawe yo direwangi karo likmu kartijah. Lha piye to le, simbokmu kuwi yen kekeselen kuwi banjur kumat larane. Sambate jarene dadane ampeg lan watuke banjur ngono kae. Mula saka kuwi tak penging nyambut gawe sing abot-abot.” bapak melengkapi ceritanya.
”Sardi lak nggih taksih nyambut damel wonten solo nggih Pak. Kados pundi kabaripun?”
”Trus kartinah nika teng mojokerto kados pundi kabaripun, sampun setunggal tahun punika boten nate kirim-kirim kabar kaliyan adik-adik.” aku menanyakan kabar adik-adikku yang sudah hampir setahun terakhir ini tidak pernah bertemu dan berkirim kabar. Mungkin bisa dimaklumi karena aku sekarang tinggal di palembang dan bekerja di sebuah perusahaan perkebunan yang sangat jarang-jarang berada dirumah, aku lebih sering berada dilapangan berhari-hari bahkan kadang sampai sebulan baru pulang ke rumah. Bahkan setelah menikah dua bulan yang lalu pun aku belum sempat pulang ke kampung halamanku untuk mengenalkan istriku kepada kedua orang-tuaku.
”Sardi lan Kartinah yo apik-apik wae le.Ning yo ngana kae....” Bapak menyampaikan kabar adik-adikku. Akan tetapi ada sesuatu yang menggantung, yang seakan-akan bapak enggan untuk berbagi. Aku merasa wajib untuk mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan mereka, aku beranggapan adalah hal yang wajar untuk aku pertanyakan, dalam benakku siapa tahu aku bisa membantu mengatasi sesuatu yang mungkin saja menjadi beban bagi orang tuaku. Wajar... ya wajar.. karena aku adalah anak sulung-nya.
”Kados pundi Pak?” aku mencoba menarik bapak kearah pembicaraan yang lebih detil tentang adik-adikku.
”Yo ngana kae le, sardi kuwi bocah sing watake pancen ngana kae. Anggel nekuk atine. Sembarang ki gugu karepe dhewe.” Bapak berhenti sejenak untuk menikmati kue yang disuguhkan oleh istriku. Setelah diselingi dengan meminum kopi yang masih tersisa setengah cangkir lebih, bapak melanjutkan ceritanya.
”Aku bingung anggonku arep nuturi sardi. Bocah nyambut gawe nyah mana nyah mene kok ora cemantel. Senengane kuwi yen bali ubyang-ubyung karo bangsane karmidi, sujak, lan tukin. Yen wes ngana kae trus banjur pada ngombe, rokokkan lan jagongan nganti parak esuk. Duit bayarane prasasat entek gur kanggo nraktir cah-cah kae.” aku mendengarkan cerita bapak sambil menerawang mengingat kembali keadaan disana, mereka-reka bayangan kira-kira seperti apa ketika sardi menraktir teman-temannya. Yang hal itu hampir pasti dilakukan rutin setiap bulan ketika pulang ke Gunungkidul. Terbayang olehku sardi berlaga bagaikan seorang bos besar yang membayar semua kebutuhan pesta anak buahnya.
”Lha yen wayahe balik menyang solo, mesti ngrusuhi simbokne. Njaluki duit kanggo sangu. Yen disauri ora dhuwe, njur ditakoni bayaranane dhewe ning endi. Mesti banjur nesu. Lunga ora pamitan.” Bapak menjelaskan lebih panjang lebar mengenai kebiasan Sardi, sambil menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir kopi dihadapannya.
”Sruppp...” diselingi dengan hirupan kopi yang mulai dingin bapak melanjutkan ceritanya.
”Ning yo ora dadi apa. Pancene bocah ki dhuwe tabiat dhewe-dhewe.” lanjutnya memaklumi tabiat anaknya.
”Kartinah kae saiki ning kediri melu bojone, anake lanang siji kae saikine wes esde kelas siji. Mbuh jare bojone saiki lali ora cekel gawean, perusahaan nggone nyambut gawe kukut kena krisis moniter.” bapak melanjutkan ceritanya tentang keadaan Kartinah, adik bungsuku, yang sekarang tinggal di Kediri. Suaminya sudah tidak bekerja karena perusahaan tempatnya bekerja sedang bangkrut terkena imbas krisis monoter.
”Nggih mugi-mugi sami sehat lan diparingi sabar nggih Pak.” aku mencoba menghibur Bapak dengan mendoakan adik-adikku semuanya.
”Iyoo le... ” jawab bapak singkat.
----xxx---
”Deng... dong.. deng... dong...” jam bandul ukiran khas jepara berbunyi nyaring dari sudut ruangan. Seakan memanggil aku untuk memperhatikannya sejenak, mencari-cari perhatian dari kami berdua yang tengah asyik berbincang-bincang. Jarum jam yang berwarna kuning keemasan menunjuk ke angka tujuh dan dua belas, wah.. tanpa terasa sudah dua jam lebih kami berbincang-bincang.
”Wes jam pitu le, apa ora budal nyambut gawe?” bapak bertanya sembari mengingatkan aku untuk berangkat bekerja.
”Inggih Pak, dinten menika wonten janji kaliyan suplier wonten kantor pusat. Kula bade siyap-siyap rumiyin nggih Pak” aku beranjak dari kursi sambil meminta ijin untuk pergi mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor.
”Yo kana gek cekat-ceket wes awan.” saut bapak sambil beranjak juga dari tempatnya duduk dan berjalan ke teras rumah. Mungkin ingin menikmati suasana pagi hari di kota Palembang ini.
Usai mandi dan berganti baju kerja, aku hampiri bapak yang sedang duduk di kursi di teras depan rumah sambil menikmati rokok sigaret kegemarannya. Harum khas tembakau yang terbakar mengingatkanku pada kebiasaan bapak di desa. Yang gemar sekali menghisap sigaretnya sambil memberi makan ayam-ayam piaraannya di kandang belakang rumah.
”Mangga Pak, dahar sarapan rumiyin” sapaku sambil mengajaknya untuk sarapan pagi bersama-sama.
”Wes kana, sarapana dhisik. Aku mengko-mengko wae.” bapak memalingkan wajahnya ke arahku sambil memerintahkan aku untuk sarapan sendiri, karena beliau belum berminat untuk sarapan.
Aku pun bergegas ke ruang makan untuk sarapan, dan tanpa perlu memaksa bapak untuk sarapan pagi bersama. Aku sudah hapal betul dengan kebiasaan bapak yang tidak senang dipaksa untuk melakukan sesuatu, sebelum beliau menginginkannya sendiri. Dan lagi pula aku tidak ingin menganggu keasyikannya dalam menikmati sigaret. Apalagi sangat kebetulan sekali di halaman depan rumah ada dua ekor ayam hutan di dalam sangkar yang tak henti-hentinya berkokok dengan suaranya yang khas itu.
Selesai sarapan, aku mengeluarkan Toyota Land Cruiser yang dipinjamkan kepadaku untuk memudahkan aku melakukan tugas pekerjaan sehari-hari. Mobil aku parkir di car port, aku turun dari kendaraan dan kubiarkan mesinnya tetap menyala. Kuhampiri bapak yang masih terlihat asyik di teras rumah.
”Kula kesah rumiyin nggih Pak.” Kuulurkan tanganku untuk berpamitan kepadanya.
”Iyo.. le. Sing ati-ati ning dalan” ucapnya meminta aku untuk berhati-hati dijalan.
Kemudian aku hampiri istriku yang cantik dan berpamitan kepadanya ”Aku pergi dulu ya sayang.” tak lupa sambil mencium keningnya.
Aku bergegas kembali masuk ke mobil, perlahan-lahan aku meninggalkan halaman rumah. Dan bergabung dengan sibuknya lalu lalang kendaraan di jalan raya kota Palembang. Jarak dari rumah ke kantor cukup lumayan, kira-kira memerlukan waktu hampir satu jam perjalanan. Maklum namanya juga perusahaan perkebunan, meskipun namanya kantor pusat; tetap saja lokasinya jauh dipinggiran kota.
Sepanjang perjalanan aku kembali teringat akan adik-adikku, perjalanan nasib yang membawa kami ke jalur yang berbeda-beda. Aneh memang rasanya, padahal kami lahir dari benih yang sama, tumbuh dari rahim yang sama, tetapi tumbuhnya membawa nasib sendiri-sendiri. Itulah kenyataan hidup yang kadang keluar dari logika manusia yang sangat terbatas ini.
”hmm benar juga pepapatah orang jawa dulu. Endog sak petarangan netese beda-beda” gumamku teringat pelajaran dari guru bahasa jawaku dulu di es-de.
”Endog sak-petarangan netese beda-beda” - Telur dalam satu sarang menetaskan anak ayam yang berbeda-beda warna bulunya, begitu juga gambaran hidup manusia. ~~QAP~~

Senin, 23 Februari 2009

BONTOTAN

Yu sagiyem gek ibut ning pawone, isuk umun-umun wes ribut dedek geni kanggo adang sega lan nggodog banyu wedang kanggo gawekne kopi sing lanang. Beras sak-gelas cilik di sok ning njero dunak cilik, banjur digawa memburi sakperlu dipesusi. Krusek-krusek….. keprunggu swarane beras kang diubek ning njero dunak bebarengan karo miline banyu leri ing peceren.
Bubar mesusi, dunak diseleng ning ngisor rak piring saka kayu kang rupane wes ireng-ireng dening langes obongan kayu pawon. Klitik-klitik, yu sagiyem katon ngracik wedang kopi ing gelas cilik kang wis rada gripis lambene. Stoples cilik wadah gula di koreti nganggo sendok aluminium, banjur diwor karo kopi ing jero gelas. Sakbanjure nyandak gombal amoh kang rupa lan bentuke wes ora karu-karuan, kanggo ngangkat ceret werna ireng saka dhuwur pawon. Ceret ireng dudu merga saka bahan Teflon, nanging ireng merga kepangan mawa lan langes obongan kayu saka pawon, ngono wae wes rada peyok-peyok lan gantolane wes ditaleni kawat dening Kang turijo bojone yu sagiyem, amrih ora bodol nalika diangkat.
Krucuk krucuk krucuk…. Wedang panas disuntak alon-alon ning jero gelas. Pega tipis-tipis metu saka gelas karo nyangking wangine ganda kopi kang ngunggah turune sing lanang. Sisa banyu ing ceret banjur di sok ing jero termos werna abang kang kembang-kembange wes ketutup dening teyeng. Rampung anggone nyuntak banyu, termos banjur ditutup nganggo uwel-uwelan plastik kang diganjel ketokan kayu jambu.
“Kang… iki lho wedange. Tangi Kang; wong sing subuhan wes pada mudun kae lho” celuke yu sagiyem marang bojone.
“Hmm…. Yooo” saure kang turijo saka senthong kang mung keletan gedheg sak lembar karo pawon panggonane ruang kerjane yu sagiyem .
Kang turijo klunuh-klunuh bukak mili tutup senthong, karo kalungan sarung kotak-kotak kang wus blawus banjur raup ing padasan ning buri omahe. Rampung anggone raup terus mlebu pawon lan lungguh ing dingklik dhawa, karo ngliling wedang kopi panas kang isih kemebul ing lepek kramik tinggalane wong tuwane, barang warisan critane.
“srruttttttttttttttt…………. Ahhh…..” suarane kang turijo nyruput wedang saka lepek katon nikmat banget, karo nyaut pacitan godogkan tela pohong turahan wingi bengi.
“Sido nyang kecamatan ora kang saiki” yu saginem takon marang bojone karo ibut ngudek kendil isi godogkan beras amrih ora gosong.
“Hayoo sido wes kadung nyaguhi je. Mengko yen ora mara pak camat mesti duka, lha yen nganti duka aku bakal kelangan dalan rejeki” saure kang turijo karo isih nyomak-nyamuk mangan telo.
“Thole pa isih turu?” sambunge kang turijo nakoke anake lanang sing gek kelas telu esde, karo neruske anggone nyruput wedang kopi.
“Isih” saure yu sagiyem. “Sampeyan arep budal jam piro iki mengko kang?” sambunge.
“Hayoo bubar iki, aku tak adus gek ndang mangkat” sing lanang nyauri karo ngenteke sisa kopi ning cangkire. Banjur mudun saka dhuwur dingkling, nyaut anduk ning tali sampiran cedak karo lawang butulan pawon. Anduk disampirake nyang pundake trus mlaku metu.
“Sabune mbok deleh endi yem?” kepungru suarane kang turijo saka mburi omah.
“Ning dhuwur tumpukan kayu kuwi lho kang.”
“Ndeleh… sabun wae di lah-leh, marahi kangelan goleki wae” sing lanang grememeng semu maido.
Ember cilik werna biru isi sabun lux, sikat untu sing wes njeprak wulune, lan odol kang wis ora ana tutupe maneh dicangking karo mlaku menyang belik ing kali buri omahe. Ngliwati kebon kopi lan jeruk titipane Pak camat, kang wektu kuwi lagi mribik-mribik kembang lan metu pentile cilik-cilik. Arume kembang cengkeh nambahi segere suasana isuk kuwi. Embun katon isih pating tlecek nelesi gegodongan ing sakiwa tengene dalan tumuju kali. Ketambahan pangocehing manuk podang ing wit randu alas kang tukul dhuwur jrebabah ing pojokan tegal sisih kidul, njalari swasana isuk kuwi sansaya tambah asri lan iso gawe ayeming ati.
Nanging ora kanggone kang turijo. Kang kaya mangkono mau kejaba saka saking wes kulinane nemahi ing saben dinane uga kagawa saka panguripane kang saka rumangsane tansah nandang lara lapa kawit bayi lair ceprot ing alam donya iki. Panguripane tansah kecingkrangan lan durung tau sepisan wae necep manise madu panguripan kaya wong-wong liyane ngana kae. Paling banter madune panguripan kuwi tau dirasakane nalika ing jero sentong karo yu sagiyem pas langen asmara. Ngono wae saiki isih kudu pinter-pinter ngatur siasat, supaya ora diweruhi dening anake. Lha piye omah yo sentonge gur siji, kathik anake saikine yo wes gedhe, wes umur sangang taun. Apa yo tegel lan ora wirang yen nganti kadenangan dening anake nalika lagi krusak-krusek wong loro. Mengko nek ujug-ujug anake lanang tangi; banjur tekon sing ora-ora,lha njuk kepiye olehe nyauri. “Pak lan mak gek nyang opo? Kok krusak-krusek gak klamben?”. Hara to yaa…. Blaik tenan!!!

Bubar adus ing belik ngisor wit jrakah, kang turijo banjur mulih karo nyangking ember isi banyu kanggo pasediyan ing ngomah. Kaya padate wong-wong ing desa kana, saben nyang belik mesisan karo nyangking bayu supaya ora kudu bola-bali nyang kali yen pinuju perlu banyu sithik-sithik. Tekan ngomah, anduk disampirke ning tali pemehan wetan omahe. Terus klunuh-klunuh mlebu ngomah liwat lawang pawon bablas nuju sentong lang salin penganggo. Bojone katon lagi ibut nata sega lan lawuh ing dhuwur amben cilik saka galaran pring kang dilambari klasa pandan amoh. Sega lan lawuhe di lebok-lebokne ing njero rantang seng werna putih, banjur dibungkus nganggo serbet motif kotak-kotak kaya sorban kang biyasane dienggo kalungan Pak modin. Rampung nata bontotane sing lanang, banjur ngliling kopi saka gelas menyang gendul tilas wadah setrup anggone maringi Pak camat nalika riyaya taun kepungkur. Bontotan lan gendul banjur digawa mengarep nyang teras omahe. Kang turijo katon lagi ibut ngelapi pit onthel phoenix weton taun wolong puluhan werna biru ing latar ngisor wit talok.
“Kang, iki lho sangune sampeyan.” Ujare yu sagiyem karo nyeleh barang cangkingane ing dhuwur kursi kayu.
“Weh… ha kok ndadak disangoni barang yem.. yem… biasane yen nyang nggone Pak camat ki diparingi mangan lho yem” kang turijo nyauti karo isih ibut ngelapi pelek sepedah. Jan yen karo tunggangane siji kuwi kang turijo ora kalah anggone ngrumati lan ngreksa karo penggemar moge (motor gede), tugangane para pejabat lan selebritis saka Jakarta kae. Senajana pit onthel ning tansah dirukti kanthi gemati. Jarene sembarang dengah ki yen dirumat kanthi becik bakal awet. Lan yo pancen nyata falsafahe kang turijo kasebut, nyatane wes seprana seprene sepedah phoenix-ke mung sepisan mlebu bengkel, kuwi wae pinuju sepedahe di sruduk becak nalika ngeterke yu sagiyem nyang pasar kecamatan telung taun kepungkur. Nek perkara ganti ban, nambal ban, apa nyambung rantene sing pedhot; kang turijo temah di tandangi dhewe wae. Sakliyane ngirit ongkos uga hasile maremake ati jarene.
“Yo ora kaya ngono kuwi Kang. Senajan biasane disogati, awak dhewe ki ya aja njur terus seneng jagagke pawewehing liyan Kang. Jare sing kaya ngono kuwi kurang becik lan prasaja. Jagagke ndogke blorok yen ngono kuwi jenenge” yu sagiyem maido sing lanang.
“he he…. Iyo bener kandhamu yem” ujare kang turijo karo mesem marani sing wedok. Bototan dicandak banjur diambu.
“wah ambune kok sedep tenan iki yem. Masak apa iki mau?” sambunge
“Sampeyan tak masakke radha sepesial kang. Dadar endog, oseng-oseng genjer karo tempe, sambel trasi lan lalapan pete karemanmu kang.”
“Jare bu RT ing kumpulan PKK minggu wingi kae, sepisan-pisan kuwi perlu masak kang rada istimewa kanggo bojone. Mau tak jupukne endog pitik saka petarangan, tak jupuk loro siji kanggo sampeyan, sing siji maneh kanggo sarapan thole mengko.” Tembunge yu sagiyem. Yu sagiyem senajana wong ndeso klutuk, ning prigel nandangi gawean padinan ing bale somah. Tur yo segrep melu kumpulan PKK ing RT, ora tau gothang anggone nekani kumpulan. Kanthi mengkono yu sagiyem dadi luwih dhuweni wawasan kanggo sangu nglabuhi anak lan bojone.
“Yo wes.. yem aku tak budhal saiki. Selak kawanen, mengko nek Pak camat selak tindak kantor.” Tembunge kang turijo.
Bototan di cantolke ning stang sepedah sisih kiwa, sepedah banjur dituntun alon-alon ngliwati lurung sak pecak antarane kebonan tumuju dalan desa kang dadi dalan tembusan menyang dalan gede, yu sagiyem ngetutke ing burine. Tekan pinggir dalan, kang turijo banjur nyengklang sepedahe lan lon-lon wiwit ngontel. Ora lali pamitan marang bojone, “wes mangkat dhisik. Sing ati-ati yo ning omah.”
“Iyo kang, sampeyan yo sing ati-ati ning dalan.” Yu sagiyem nyawang lungane sing lanang kanti rasa kang beda dina kuwi. Panyawange kandeg nalika sing lanang lan sepedah onthele ilang diuntal dening enggok-enggokan ing kebonane pak dhe nardi kang kebak dening wit-witan gede. Yu sagiyem banjur balik menyang ngomahe, kelingan anake lanang sing isih turu mlungker ndek kamar.
ooooooooooooooooooo

“Arep nyang endi jo?” panyapane lik samino nalika pethukan ing lurungan cedak sawah gedhe.
“Nyang daleme Pak camat, lik. Mangga lik nderek langkung niki” jawabe kang turijo.
“Yo… sing ati-ati yo. Andum slamet wae.” Saure karo bacutke anggone macul sawah.
“Nggih…..” kang turijo balesi karo mesem.

Bototan ing stang sepedah kepental-pental mengarep-memburi. Kantrok-kantrok merga dalanan kang isih mawujud lemah lan watu krakal. Mokal yen dalanan kang diliwati kuwi bakal kambon aspal. Wes genah yen ora bakal, wong dalanan kuwi ora ngadut nilai komersial lan ekonomis. Dalanan kang mung kanggo dalan kebo lan sapi nuju sawah, yen udan bletok lan ora kendat saka tlepong kebo lan sapi kang pating petutuk kaya bubure kanjeng nabi sulaiman, ing dongeng-dongeng kancil nyolong timun kae. Beda karo dalanan sing nembus ing sumur-sumur lenga gas ngana kae, dalane mulus…. Nglenyerrrr…. Sing wes genah yen bakal nguntungake juragan-juragan lenga lan para juragan-juragan sing wenang ngurusi negara.

Kang turijo ngenggokake stang sepedah menyang pelataran jembar kang kiwa tengene di kebaki dening tanduran cengkeh lan sak wernaning kembang lan pasuketan kang ijo royo-royo. Mudun saka sepeda kang turijo banjur ngirit sepedahe menyang plataran sak wetane pendapa omah joglo saka kayu jati tuwa kang gadeg gede ngemu wibawa. Yo pantes wae, wong daleme Pak camat. Dalem kang wus run temurun saka para leluhure Pak camat, lan ora mokal yen isih mambu sawabe para leluhur mau.
‘Ee… wong ki nek tedak turune wong drajat lan pangkat ki, nganti sak anak putune yo isih ketiban wahyu dadi wong kang mulya uripe. ‘ pangrasane kang turijo ing jero batin nalika nuntun sepeda.
‘Yo wes ben, uwong kuwi kajibahan kuwajiban dhewe-dhewe dening Kang Kagungan Kersa’ pambantahe kang turijo ing jero atine dhewe.
Sak wuse nyendekake sepedah ing ngisor wit sawo kecik ing wetan pendapa, kang turijo banjur mlaku tumuju ing omah sak mburine pendapa.
“Kula nuwun” kang turijo uluk salam.
“Mangga, sinten nggih?” keprungu swara priyayi estri saka njero omah. Sajake bu camat kang nyauri, ketoro saka swarane sing ulem lan semanak.
“Dalem bu ingkang sowan, turijo.” Saure cekak.
“O.. sampeyan tho jo. Kene-kene mlebu jo” Katon bu camat ngacari dayohe karo bukake lawang.
“Nggih bu sampun mriki mawon” kang turijo nyopot topine karo lungguh ing kursi teras.
“Iki mau wes dienteni karo Bapak, meh wae ditinggal tindak. Wong selak arep ana rapat ing kabupaten” saure bu camat.
“Wah, nggih nyuwun sewu bu. Niki wau radi kerinan angsalipun tilem.” Kang turijo gupuh anggone matur merga rumangsa kleru, kuwatir yen nganti gawe gela atine Pak camat.
“Wes ora dadi apa jo, wong Bapake yo durung kebanjur tindak kok. Sek yo entenana sedela, tak ngaturi Bapake dhisik.” Bu camat mesem karo mlebu nyang ngomah sak perlu ngandani Pak camat. Kang turijo ngenteni karo deleng kucing kang lagi nyusoni anake cacah papat ing emperan omah. Kucing ules kembang telon karo anake papat katon resik-resik lan lemu-lemu. Ngetokake banget yen kucing pomahan lan kerumat kanti becik. Mbok menawa wae menu pakanane luwih bergizi tinimbang lawuh bontotane kang turijo esuk kuwi.
Ora sakwetara suwe, Pak camat wes metu saka jero omah. Wes ngganggo seragam coklat-coklat lan sepatunan ireng meling-meling. Kang turijo banjur gadeg lan ngulukake tangane, salaman karo Pak camat.
“Kok nganti yah mene gek tekan mrene jo.” Pak camat nampani tangane kang turijo terus mapan lungguh ing kursi sisih tengene turijo. “lungguh jo” prentahe marang turijo.
“Inggih. Nyadong duka Pak, niki wau radi kerinan anggen kula tilem” kang turijo mapan lungguh ing kursine sakkawit karo mesam-mesem.
“Yo wes ora apa-apa jo. Anak bojomu rak yo slamet kabeh jo” pandangune Pak camat.
“Pangestunipun.” Saure kang turijo.
“Ngene jo, pager kebonan sisih buri lan kulon omah kae wes gapuk kabeh. Tulung resiki lan tatanen sing apik yo. Trus suket-suket ing kebonane kae sampeyan babati sisan ben padang. Nek rampung sedino yo sokur, nek ora yo dienyangi sesuk maneh. Sing penting kaya biasane wae jo, sing resik yo.” Pak camat menehi prentah apa-apa kang kudu ditindake dening turijo kanti singkat lan jelas.
“Nggih Pak” kang turijo nyauri cekak. Sajak wes ngerti banget karo kersane Pak camat.
“Yo wes, ngana wae jo. Aku selak arep mangkat nyang kabupaten.” ature Pak camat karo grumegah saka kursi, merga mobil dinase wes parkir ing gang-gangan antarane pendapa lan daleme. Pak camat mlebu kendaraan, lan tleser-tleser kijang werna ireng kuwi mlaku ninggalake turijo kang gadeg nguntapake lungane Pak camat. Kang turijo banjur cak-cek salin penganggo lan tumuju ing kebonan buri omah karo nyangking arit lan pacul.
ooooooooooooooooooo

Kumandang adzan lohor saka mesjid keprungu lamat-lamat. Kang turijo banjur leren olehe ngresiki pager, kringete pating dlewer nelesi rail an gegere. Klunuh-klunuh menyang sumur, muter kran banjur wisuh lan raup banyu karo banyu nyang mancur saka kran. Sikile dikosok-kosokake jobin supaya lendut sing nempel gogrok lan resik. Bubar wisuh banjur menyang panggonan nyendekake sepedah ing ngisor wit sawo kecik. Buntelan bontotan di jupuk banjur di cangking menyang emperan omah sisih wetan.
Bontotan didudah, rantang isi lawuh dibukak lan diseleh jobin. Rantang isi sega disangga nganggo tangan kiwa, nyuil endog dadar lan dulit sambel trasi di tumpangke sega ing jero rantang. Tangan tengen wes siyap-siyap muluk sega arep diemplok. Cangkep wes kadung mangap.
“Jo.. jo..” kepungru swara undang-undang jenenge saka jero omah. Bu camat sajake sing celuk-celuk.
Wurung anggone muluk sega, selak nyauri pangundange bu camat.
“Dalem bu” saure sora.
“Rene jo, nyang pawon buri jo.” Bu camat awe-awe saka lawang pawon sisih wetan.
Kang turijo banjur nyelehake rantang isi sega, lan kesusu menyang dapur. Kuwatir yen bu camat ana perlu sing wigati kang butuh tenagane sedela. Mlebu dapur katon bu camat lagi bukaki serbet ing duwur meja cilik, karo ngendikan “Iki jo, mangan sek kene. Iki wes dicepaki karo mbok binah.”
Kang turijo bingung, atine tida-tida. “Piye iki, mangan kene apa mangan bontotan olehe gawani bojone. Nek mangan kene ateges bontotane bojone mengko sing mangan sapa; lha mengko mesti bakal gawe gela atine Sagiyem nek nganti ora kepangan. Yen ditolak kok rasane mangu-mangu, ora sopan nolak pawewehing liyan.” Ngono perang batine kang turijo.
“Ah pisan-pisan nolak pawewehing liyan ora apa-apa. Sing penting bojoku aja nganti kalaran atine.”
“Wes jo gek ndang madang kene” kojahe bu camat buyarake angen-angene kang turijo.
Kanti ati ditatag-tatagake, kang turijo matur kanti swara kang rada mangu-mangu.
“Ngg.. ngg… nggeten bu camat. Niki wau kula dipun sangoni teda saking griya dening Sagiyem, semah kula. Nggih nyuwun ngaputen bu, raosipun kula bade nedi buntelan saking griya kemawon. Nggih sepindah… malih kula nyuwun ngaputen… bu….”
“O.. kowe wes disangoni karo bojomu to jo. Yo wes iki lawuhe wae gawanen kanggo imbuh kanca sega.” Bu camat mesem sajak ngerti karo atine kang turijo.
Kang turijo mesem bungah merga bu camat jebule ora duka, malah ngiyani anggone arep ngrahabi bontotane saka omah. “Nggih bu, matur nuwun.” Kang turijo mesem karo pamitan baline sega bontotane kang ditinggal ing wetan omah.
Saiba kangete kang turijo nalika tekan ing panggonan olehe dheleh bontotan kang wus didudah lan siyap dipuluk mau…
“Hess… hess… minggir-minggir” kang turijo sak nalika setengah mlayu nalika meruhi kucing lima lagi ngrayah sega rantang isi sega lan endog dadar.
Sangu bontotane wes kocar-kacir, kecampuran lemah saka dlamakan kucing kang rebutan bontotan….
“Woalahh… yem yem…..” pangresahe kang turijo mripate brebes mili karo nyawang rantang kang wes korat-karit.(QAP)