Kamis, 18 Juni 2009

‘Bintang Fajar’ itu telah pergi


“Mbak, ada tamu tuh di depan” tiba-tiba febi mendekati aku dan memberi tahukan ada tamu untukku.
“Siapa feb?” tanyaku sambil masih konsentrasi pada pekerjaanku.
“Nggak tahu mbak, bapak-bapak setengah baya bersama anak kecil. Buruan mbak, ditemui dulu. Biar aku yang membereskan pekerjaan itu.” Jawab febi sambil bersiap-siap mengambil alih pekerjaanku.
“Udah mbak, tinggalin sana. Kasihan lho, sepertinya dari jauh.” Sergah febi sambil merebut keyboard dan tempat aku duduk.
Aku segera beranjak ke ruang tamu kantorku. Aku tertegun, darahku berdesir, jantungku berdegub kencang sekali. Seakan-akan tak percaya dengan apa yang kulihat pagi itu.
“mas satrio…..” gumamku perlahan bahkan hampir tidak bersuara.
Ya, dia mas satrio. Mas satrio yang dulu pernah mengisi hari-hariku, sepuluh tahun yang lalu. Aku pernah sekali bertemu dengannya saat ada rekrutasi disebuah perusahaan di Jakarta; lima tahun yang lalu.
Pria itu berdiri dari duduknya, tersenyum dan mengulurkan tangannya sambil berkata
“Assalamualaikum, apakabarnya jeng?”
Aku meraih tangannya dengan gemetar dan perasaan bergetar. “E.. ee… waalaikum salam mas” jawabku tersendat.
“Alhamdulillah kabarku baik mas. Mas… sa.. satrio gimana kabarnya?”
“E.. silahkan duduk mas…” jawabku kemudian sambil mempersilahkannya duduk kembali.
“Terima kasih Jeng.” Sautnya sambil kembali ke tempat duduknya semula. Sementara aku mengambil tempat duduk dikursi panjang di hadapannya.
“Kabarku alhamdulillah baek juga jeng. Jeng rasti masih ingat saya to?” Lanjutnya kemudian sambil melepaskan senyuman. Belum sempat aku menjawabnya ia sudah beranjak berdiri sambil berkata “Oh iya…. Sebentar jeng.”
Mas satrio berdiri dan bergegas keluar dari ruang tamu. Sejenak kemudian ia sudah kembali dengan menggandeng seorang gadis kecil nan cantik dan lincah.
“E… Tiara. Salim dulu sama tante ya nak ya”
“Ini Tiara jeng, anakku satu-satunya.” Mas satrio memperkenalkan putrinya sambil membimbing tangan putrinya untuk bersalaman denganku. Tiara meraih tanganku dan menciumnya.
“Aduh pinternya anak cantik…” aku membalas dengan mencium pipinya yang merah merona itu. Ingin rasanya aku mencubitnya.
“Oh iya tiara, mana oleh-oleh yang tadi tiara persiapkan buat tante.” Mas satrio bertanya kepada putrinya.
Tiara tersenyum kemudian berjalan ke belakang kursi tempat ayahnya duduk, dan beberapa saat kemudian sudah berdiri kembali dihadapanku sambil mengulurkan sebuah bungkusan berwarna merah muda kepadaku.
“Apa ini sayang?” aku menerima bungkusannya sambil memeluknya. Aku sudah mulai bisa menguasai keadaan sekarang dan bisa merasa rileks kembali.
“Oleh-oleh buat tante.” Jawabnya sambil beranjak duduk disampingku. Aku tersenyum dan membelai-belai rambutnya yang lurus dan halus.
“Oh iya mas. Kok berdua saja, mana bundanya tiara?” aku bertanya sambil memalingkan wajah kearahnya.
Kulihat mas satrio hanya tersenyum saja, tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku.
“Tante…. Sekolahnya luas sekali ya tante?” Tiba-tiba tiara mengajukan pertanyaan kepadaku.
“Oh iya sayang…. Ini namanya sekolah terpadu. Tiara mau sekolah disini?” aku balik bertanya kepadanya.
“hi.. hi…. Mau. Memang ada sekolah TK-nya?” dia tertawa kecil sambil kembali mengajukan pertanyaan.
“Oh ada dong, sayang. Kalau Tiara sekolah disini, nanti dari TK bisa langsung ke SD dan SMP disini sekalian. Mau tiara sekolah disini?” aku rasa tiara adalah anak yang cerdas dan lincah, sinar matanya begitu berbinar-binar menampakkan sesuatu yang luar biasa kelak dikemudian hari. Kami kemudian terlibat dalam pembicaraan yang sepintas-sepintas, kurang lebih setengah jam mas satrio berbincang-bincang denganku saat itu.
“E.. jeng. Disini penginapan yang terdekat dimana ya?”
“Kami tadi dari bandara langsung menuju kesini, dan belum sempat mencari tempat istirahat.” Mas satrio memotong pembicaraanku dengan tiara.
“Oh, sebentar mas. Aku agak-agak kuper untuk urusan yang satu ini mas.” Aku beranjak dari tempat dudukku untuk menanyakan kepada teman-teman kantorku, dimana kiranya hotel yang layak buat mas satrio beristirahat.
Yah, aku tahu sih ada beberapa hotel di sekitar tempat aku bekerja, tapi aku perlu pertimbangan dari temen-temen juga yang sudah lebih paham dengan seluk beluk kota ini. Setelah mendapatkan saran dari beberapa temanku, aku kembali menemui mas satrio di ruang tamu. Aku lihat mas satrio sepertinya sedang terlibat diskusi kecil dengan tiara sambil melihat-lihat ikan hias di aquarium yang sengaja di pasang diruang tamu kantorku.
“Aduh… sedang pada serius sekali ya.” Aku menyapa mereka berdua.
“Ini mas, mungkin mas satrio bisa coba menginap di hotel kencana ini saja mas. Tempatnya tidak jauh dan suasananya juga nyaman. Ada restorannya juga, kata teman-teman; makanannya juga enak-enak. Cocok lah dengan selera mas satrio.”
“Aku telpon kan dulu ya mas, buat booking room-nya.”
“e.. e.. tidak usah, tidak usah jeng. Wes ben aku kesana aja langsung.”
“Kira-kira kalau dari sini saya musti berjalan ke arah mana? Nggak jauh kan?” jawab mas satrio sambil menanyakan dimana tepatnya hotel kencana yang aku maksud.
“Oh gitu. Mas satrio bisa jalan kaki saja dari gerbang depan sekolah, nanti jalan aja ke sisi kiri ya. Nggak jauh kok mas, masih satu jalan dengan sekolah ini, paling kira-kira 10 menitan lah.”
“Apa mau aku temani kesana mas?”
“O.. jangan-jangan. Wes ben aku sama tiara kesana saja sendiri. Nanti malah mengganggu jam kerja jeng rasti.”
“Oh iya, boleh aku minta nomor hp-nya. Nanti malam kalau ada waktu senggang bolehkan aku mengundang jeng rasti makan malam. Besok liburkan?” lanjutnya.
“Oh ada mas. Insya Allah nanti malam ada waktu kok.”
“Ini nomor hp saya ada di kartu nama ini.” aku berikan sebuah kartu namaku kepada mas satrio.
Mas satrio menerimanya sambil membacanya sebentar kemudian memasukkannya ke saku kemejanya.
“Ok, kalau begitu aku pamitan dulu jeng. Aku rasa sudah terlalu lama mengganggu jam kerja jeng rasti. Sudah hampir setengah jam. Nanti aku sms kalau sudah dapat kamarnya.”
“Tiara…. Ayoo… kita istirahat dulu yukk sayang. Salim dulu sama tante ya.” Mas satrio memanggil tiara yang masih asyik mengamati ikan-ikan kecil di aquarium.
“Tante… tiara pulang dulu ya.” Ucapnya ketika menjabat tanganku untuk yang kedua kalinya.
“Iya sayang…. “ aku tersenyum menyambutnya.
“Ya sudah jeng, aku pergi dulu ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam…” balasku sambil mengantarkannya sampai ke pintu depan ruang tamu. Aku lambaikan tanganku ke arah tiara untuk membalas lambaian tangannya saat mereka berdua mulai menyusuri jalan setapak menuju jalan raya.

------00-------
Malam itu mas satrio jadi mengundang makan malam aku. Lucu juga kalau diingat-ingat, harusnya aku yang mengundang makan malam mas satrio. Bukankah aku yang menjadi tuan rumah di kota itu, bukan mas satrio. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, mas satrio lah yang mengundang makan malam aku.
Mas satrio mengundang makan malam kami di hotel kencana tempatnya menginap. Kami? Ya kami. Sebab malam itu aku datang tidak sendirian, tetapi aku ditemani oleh calon suamiku. Sekalian mau memberikan kejutan buat mas satrio. Ya aku pernah bilang ke mas satrio, saya bisa menjadi apapun yang saya mau. Bahkan dengan keputusan yang kadang-kadang sangat mengejutkan.
Malam itu suasana begitu hangat, kami berempat berbicara dengan akrab layaknya sebuah keluarga yang telah lama tidak bersua. Mas satrio begitu rileksnya berbincang-bincang dengan calon suamiku. Sementara aku bercanda dan bersenda gurau dengan Tiara, yang harus aku akui kehebatannya dan kecerdasannya untuk anak kecil seukuran dia. Mungkin menurun dari bapaknya, mas satrio.
“Mas satrio, mau tinggal berapa lama disini?” aku dengar calon suamiku bertanya ke mas satrio tengtang rencana kunjungannya di kota kami.
“Rencananya sih dua atau tiga hari disini. Tapi sepertinya nggak jadi, ada keperluan mendadak besok senin lusa. Tadi ada telepon dari Jakarta, katanya senin saya harus datang ke kantor.” Jawab mas satrio.
“Wah kok terburu-buru sekali mas. Bukannya mas satrio sudah mengajukan cuti?” sambung calon suamiku.
“Iya, lha wes mau gimana lagi mas. Wong katanya penting banget.” Mas satrio tersenyum menjawab pertanyaannya. Tak terasa malam semakin larut, tiara sudah sedari tadi tertidur dipangkuanku, mas satrio pun sudah terlihat tidak bersemangat lagi berbincang-bincang. Sebab dia lebih banyak diam dan hanya menimpali pembicaraan kami. Mungkin dia juga sudah lelah dan ingin istirahat, kami pun putuskan untuk berpamitan pulang.
"Mas, kami mau pulang dulu. Sudah malam sepertinya." Aku meminta ijin untuk pulang.
"Oh gitu, ok lah.... senang bisa bertemu dengan kalian berdua hari ini." jawabnya sambil tersenyum, tetapi kali ini aku rasa ada senyuman lain yang tergambar diwajahnya. Mas satrio, mengambil alih tiara dari gendonganku, dan saat itu tatapan mata kami beradu tanpa sepengetahuan calon suamiku. Hatiku bergetar menerima tatapan mata mas satrio, sebab aku lihat ada sesuatu yang lain yang dipancarkan dari sorot matanya yang terlihat sendu.
Keesokan harinya, ketika aku masih sibuk dengan pekerjaan rumahku, tiba-tiba ada sms masuk ke HP-ku. Aku bergegas untuk membuka dan membacanya.
“Jeng, aku dan tiara sudah boarding untuk penerbangan Lion jam 10.00. Maaf, tadinya aku mau memintamu untuk menemani aku membimbing dan membesarkan tiara. Tapi rupanya aku sudah terlambat. Selamat ya jeng, Semoga jeng rasti bahagia selamanya.”
Aku bagaikan tersengat aliran listrik tegangan tinggi ketika membaca sms yang dikirimkan oleh mas satrio, pagi itu. Tubuhku bergetar dan serasa lemas, jadi semalam itu mas satrio telah berbohong kepada kami, dengan mempercepat rencana kunjungannya. Rupanya dia kecewa dengan kejutanku semalam.
“Maafkan aku mas. Aku tidak tahu maksud kedatanganmu yang tiba-tiba kemarin itu.” Tanpa terasa air mataku jatuh membasahi pipiku; Ya aku tahu mas satrio masih menyimpan perasaannya buat aku, dan beberapa hari yang lalu sebelum ini memang mas satrio banyak bercerita banyak hal. Mas satrio beberapa kali mengatakan lewat email-emailnya bahwa dia masih mencintai aku seperti dulu saat kita masih jalan bersama, sampai suatu ketika pilihan orang tua-lah yang memisahkan kami. Aku menjadi merasa sangat bersalah dan berdosa. Dia juga sempat menanyakan tentang kesedianku untuk kembali bersamanya, dan aku bilang “aku akan memikirkannya kembali.” Rupanya hal itu ditangapi serius oleh mas satrio.

--------00--------

“Mas satrio…. “ aku memanggil seseorang yang berdiri di tepat di depanku pada acara wisuda anakku yang pertama Raditya.
“Loh… sampeyan jeng…. Jeng.. Jeng rastri ya!” Mas satrio berbalik dengan raut wajah terkejut dan terkesan surprise. Ya aku masih mengenali mas satrio, meskipun kini dia sudah banyak berubah. Rambutnya sudah mulai dipenuhi dengan warna putih, wajahnya juga sudah mulai dihiasi dengan lipatan-lipatan dibeberapa bagian. Tapi satu hal yang tak-akan berubah dalam diri mas satrio. Gaya bicaranya dan senyumannya, yang aku rasa masih sama dengan yang dulu.
“Sedang menghadiri wisuda juga?” tanyanya begitu bergairah, aku membaca masih ada rasa yang terpendam dihatinya.
“Wisudanya raditya mas, anak pertamaku.” Sautku pendek.
“Lha mana suami dan anakmu jeng?” Tanya mas satrio sambil melemparkan pandangannya berkeliling mencari suami dan anakku, ketika melihat aku berdiri hanya sendirian diruang itu.
“Lagi ada keperluan. Nanti kan kesini lagi mereka.”
“Mas satrio sendiri?” aku balik bertanya.
“Aku juga lagi ngeterke Tiara wisuda juga?” jawabnya.
“Oh baru lulus juga ya?”
“Iya… baru selesai S2-nya. Lha itu apa anaknya kesini.” Mas satrio menunjukkan jemari tangannya ke arah seorang gadis bertoga yang sangat-sangat cantik.
Aku alihkan pandanganku mengikuti telunjuk jarinya, aku tidak akan lupa dengan sorot matanya seperti 20 tahun yang lalu. Sorot mata seorang gadis kecil yang begitu manja kepadaku.
“Tiara ini, ibu rastri. Salim dulu nak.” Dengan sopan tiara menjulurkan tangannya dan mencium tanganku.
“Tiara masih ingat nggak nduk? Dulukan kita pernah ke tempat ibu rastri ini” Tanya mas satrio kepada tiara.
Tiara hanya tersenyum lebar menatap aku.
“He he… sudah lupa ya. Iya lha wong dulu kamu masih kecil waktu bapak ajak kesana. Masih 5 tahun.”
“Selamat ya nak tiara, sekarang sudah besar dan sudah lulus S2 lagi.” Aku menyela pembicaraan.
“Trus rencananya gimana habis ini, kapan mau ngasih cucu ke bapak?” aku mengajukan pertanyaan sembari menggoda tiara.
Tiara tersenyum tersipu sambil berkata “Ah… belum kok tante.”
“he he… mbuh itu jeng. Malahan habis wisuda ini aku arep ditinggal dhewekan. Kebetulan tiara ini kan wes dapat kerjaan di departemen luar negeri, dan katanya mau dikirim jadi diplomat di Belgia apa di Belanda. Aku sendiri yo rak mudeng.”
“Wah… yo hebat to mas. Putrine mas satrio ini, jarang-jarang lho mas, masih muda wes dipercaya menjadi duta Negara.” Aku menyatakan kekagumanku pada tiara.
“he he… lha tapi aku wes tuwa jeng. Sing ngurusi terus sapa aku iki mengko” mas satrio tertawa sambil memeluk anaknya.

Itulah pertemuan terakhirku dengan mas satrio 20 tahun kemudian setelah terakhir kali bertemu. Dan entah suatu kebetulan atau bagaimana, ternyata kami sekarang tinggal sekota lagi di kota gudeg Yogyakarta ini. Suatu hal yang tak terduga sebelumnya, dan ini menjadi jalan bagi kami untuk kembali mejalin silaturahmi. Tentu hubungan silaturahmi yang masih dalam koridor yang benar.

Dan pagi ini, tepat dihari ulang tahun mas satrio yang ke 63. Aku masih duduk termangu di teras rumah sakit sardjito. Air mataku masih menetes membasahi pipiku yang sudah mulai menua juga. Semalaman aku menemani mas satrio disaat-saat terakhirnya. Dan tadi pagi-pagi ketika adzan subuh berkumandang, tiba-tiba mas satrio terbangun dari tidurnya. Aku melihatnya dia begitu bergairah dan ceria, matanya berbinar-binar menatap kepadaku. Sorot mata yang tajam, setajam saat dia masih muda dahulu.
“Jeng…. Kok sampeyan ada disini? Aku dimana ini jeng” tanyanya. Aku tersenyum senang karena mas satrio terjaga dari mati suri-nya, ia sudah koma selama 3 hari karena terpeleset ketika tracking di kaliurang.
“Iya mas… Mas satrio di rumah sakit. Mas satrio habis jatuh saat dikaliurang kemarin itu” jawabku perlahan, aku pegang tangannya dan kuletakkan diatas dadanya. Terasa olehku hembusan napasnya yang lembut dan tenang.
Mas satrio tersenyum lembut. Kemudian dia berkata “Jeng bisa tolong bantu aku bangun… aku mau ambil air wudhu. Aku mau sholat subuh.”
“mas… mas tidur saja dulu. Aku panggilkan dokter ya.” Aku menahan mas satrio agar tetap berbaring.
“Jangan jeng… tidak usah. Bantu aku untuk bangun saja.” Akhirnya aku turuti kemauannya.
“Liat jeng aku sudah sehat, aku nggak apa-apa. Jeng rastri kok disini sendirian, mana suami jeng rastri?” tanyanya saat kubimbing ia turun dari tempat tidurnya.
“Ada mas, baru saja dia pamit pergi ke mesjid katanya.”
“Sudah jeng, aku kuat berjalan sendiri ke kamar mandi.” Dengan langkah yang tenang seakan-akan tidak menunjukkan kalau mas satrio sedang dalam keadaan sakit parah. Sejenak kemudian mas satrio sudah kembali dari kamar mandi dalam keadaan suci setelah berwudlu.
“Mau sholat dimana mas?” tanyaku sambil memegang sajadah.
“Wes disini wae jeng.” Aku membantu memasangkan sajadah di samping tempat tidur sesuai dengan keinginannya.
“Bismillahirohmanirohim… Allahu akbar…”
Sejenak kemudian mas satrio sudah khusuk menjalankan shalat subuh begitu tenangnya ia, aku menunggu di kursi di dekat jendela. Aku buka gorden jendela, dan tampak olehku sebuah bintang yang berpijar sangat terang. Aku teringat akan bait-bait puisi yang pernah dituliskan mas satrio untukku. Aku masih menyimpannya puisi itu sekarang. Aku tersenyum menatap bintang itu mengingatkan akan cerita-cerita lama antara aku dan mas satrio.
Lamunanku buyar saat aku sadar kenapa mas satrio lama sekali sujudnya, menurutku harusnya sekarang mas satrio sudah tahiyat akhir. Aku berdiri dari kursi dan menghampiri mas satrio yang masih tersujud di sajadah. Sujud yang aku rasa sangat tenang dan khusyuk…
“Mass…” aku beranikan diri menganggu ke khusyukannya.
“Mass…. Mas satrio.” Aku ulangi memanggil namanya.
“Mas…” aku beranikan diri untuk menyentuh tubuhnya dan berusaha membangunkannya.
“Mas…. Masya Allah…. Mas… Innalillahi…” air mataku jatuh berderai tak kuasa aku menahan tangisku yang serta merta pecah. Ternyata mas satrio sudah melakukan perjalanan terakhirnya menghadap Sang Khalik.
Kini aku hanya bisa termenung diteras rumah sakit sardjito ini. Bintang Fajar itu telah pergi, pergi dengan membawa janji setianya. Semua janji-janjinya sudah terpenuhi, aku ingat mas satrio pernah bercerita bahwa dia ingin meninggal dalam keadaan sujud dimana jarak antara mahluk dan Sang Penciptanya sangatlah dekat. Dan dia juga berjanji akan selalu menyisakan ruang dalam hatinya untukku. Semua itu sudah dipenuhinya….

Bintang Fajar

Kala kau terjaga dari tidur malammu
Ketika kau terbangun dari mimpi indahmu
Sempatkanlah sejenak menengok aku
Disisi timur tempatmu berdiri.....
Kala sang fajar masih samar-samar bercahaya.

Aku menunggumu disitu...
Ada salam yang hendak kusampaikan
Dari seseorang yang merindukan cintanya.
Disana akan kau dapati aku yang bersinar terang.

Sadarilah bahwa disaat yang sama
Ada seseorang disisi lain bumi ini
Sedang tersenyum menatapku juga
Menitipkan salamnya buatmu.


Disana kelak dia akan berdiam
Menunggu dan menanti
Kehadiran cintanya yang sejati
.


Itulah puisi yang pernah dia berikan kepadaku dulu. Kini Bintang Fajar itu telah meredup seiring dengan fajar yang makin meninggi. Aku hanya bisa berdoa dan berkata…. Selamat jalan Bintang Fajarku.

[seperti yang akan di ceritakan rasti 29 tahun lagi]

Selasa, 09 Juni 2009

Rencek-rencek Kayu Jati


Mantri darmo ngadek njegrek nyawang kahanan alas jati wana keling kang wus entek mung kari ninggal tunggak-tunggak garing ing kana kene. Kacamata ireng dibukak, banjur dudut sapu tangan saka sak clana werno soklat kanggo ngelapi kringet kang mruntus nelese batuke. Mripate nrocos kembeng-kembeng sajak trenyuh nyawang kahanan alas jati kang biyen dadi tanggungane nalika isih dines dadi jaga wana ing blok XI wana keling. Sepuluh taun kepungkur sak durunge pindah dadi mantri alas ing puncak wangi.
Biyen alas jati kuwi dikebaki dening wit-wit jati kang umure ngancik puluhan nganti atusan taun. Alas kang ketel lan sugih dening sato iwen, kang uga kena kanggo ngadang ilining banyu udan saengga kali ing sak ngisore alas kae ora tau kasatan kaya kang dumadi saiki.
Biyen warga sak kiwa tengene alas, tansah oleh pengayoman saka alas kang aweh hasil bumi lan asil alas kang kena dijagake kanggo cagak kebutuhan saben dinane. Kok ora dadi cagak urip piye? Wong biyen sak durunge alas jati kuwi dibabat entek kaya saiki, saben dinane akeh warga padesan kang pada golek godong jati, golek rencek kayu jati, lan uga diidini dening mandor darmo wektu semana kanggo ngolah lemah sak ngisore wit-wit jati kanti tumpang sari. Biyen warga iso nandur jagung, kacang-kacangan, lan uga pari gaga ing sela-selane wit-wit jati. Ning saiki? Resik…. Kabeh resik…. Lemah-lemah dadi cengkar. Yen awan hawane panas nyelet kulit. Sato iwen kabeh bubar mbuh menyang endi parane.
Kabeh mau merga saka tumindak kang srakah, ora nganggo tatanan, lan mburu kasenengan pribadi sowang-sowang. Aji mumpung kang dadi piandele. Mumpung ana kesempatan, mumpung ora ana sing diwedeni, mumpung hukum adil lagi kelangan jaya kawijayan. Wong-wong kang brangasan, kang kemrungsung dening banda donya banjur lali. Lali marang tatanan urip kang sak mestine disuyudi saben dinane. Wit-wit jati kang dadi cagak alas wana keling di tegori esuk sore awan bengi, gede cilik kabeh di gereti metu saka alas siji baka siji. Blandong kayu kang seneng gumuyu, oleh bati akeh tanpa kudu polah akeh-akeh. Wong-wong kang tumindak culika tanpa wates sajak seneng banget oleh duit sak tumpuk-tumpuk kanti cara yang batil, lan ora ngelingi dina-dina ing tembe mburine.
Saiki lagi dirasakne akibat saka tumindak serakah ing wektu-wektu kepungkur. Kabeh-kabeh sambat, kabeh-kabeh ngresah lan ngresula merga alas wis ora kena dijagake kanggo jagan-jagan kebutuhan saben dinane.
“Biyen nalika alase isih ketel, yen pinuju ana gawe ngene iki awak dhewe gur cukup sangu pethel lan tambang saba nyang alas golek rencek kayu jati. Wes mesti duit 30 ewu kecekel tangan lan sesuk kena kanggo jagong manten.” Sabate sak wenehe pawongan kang lagi padha cangkruk ing gubuk pinggir desa.
“Iyo, biyen biyunge bocah-bocah sok pada golek godong jati. Kena di dol ning pasar lan oleh duit cukup kanggo tuku uyah, trasi, lan teri garing kanggo imbuh-imbuh bumbu pawon.” Saure wong liyane.
Kuwi biyen, biyen lelakon sepuluh tahun kepungkur. Lelakon jaman alas jati wana keling isih ijo royo-royo kanti gegodongan kang ngrembyung ngeyupi warga ing sak kiwa tengene. Durung maneh yen pinuju ana tebangan, sithik akeh warga uga kecipratan rejeki. Mbuh iku minangka kuli angkut apa oleh rencek pang-pang jati kang ora kanggo.
Kasengsaran ora mung dialami dening warga sak kiwa tengene alas, malah kepara-para para pengusaha lan perusahaan mebel lan ukiran uga kena imbas saka pokal gawe kang nasak aturan mau. Coba deleng, wes piro wae pabrik-pabrik mebel kang kukut merga kekurangan bahan baku kanggo gawe kursi, meja, dipan, lemari, lan sak panunggale kang jagake kayu-kayu jati minangka bahan dasare. Yen pabrik-pabrik pada tutup, ateges akeh uga uwong-uwong kang uga kelangan dalan urip. Akibate akeh ekonomi keluarga kang dadi kocar-kacir. Arep golek pakaryan liyane ora kuwawa amarga yo mung saka babakan ngolah kayu kuwi keahlian kang di dhuweni. Bisa wae gawe barang saka kayu-kayu liyane kejaba saka jati, nanging dadine kurang apik lan ora payu didol. Apa ora malah tobat, wes kangelan nyambut gawe, paribasan ilang banda ilang tenaga lan wektu ning hasile mung kesel lan rasa mangkel.
Mantri darmo, jumangkah mudun saka anggone ngadek ing galengan pinggir dalan. Kalenan cilik kang kasatan banyu dilumpati. Ninggalake tapak sepatu boot ing suket-suket garing sak pinggire kalenan. Kacamata irenge dipasang maneh, kanggo ngaling-ngalingi mripate kang sulap dening sorote srengene kang tanpa tedeng aling-aling manasi lemah-lemah cengkar tilas alas jati biyen. Jumangkah tumuju pawongan cacah telu kang katone lagi duduki bonggol-bonggol kayu jati.
“Lho sampeyan kang? Gek ngapa kuwi?” sapane mantri darmo marang pawongan-pawongan kuwi.
“Genah le lagi dangir bongkol jati ngene lho. Wes ngreti dhewe leren tekon.” Sauté salah siji pawongan kanti senggol marang mantri darmo.
Pranyata pawongan kuwi wes diapali banget dening mantri darmo, pawongan-pawongan kuwi biyen tilas komplotan bromocorah alap-alap kayu jati kang tansah ganggu gawe ing blok XI wana keling. Prasasat saben wayah lingsir wengi tansah glibetan ngubengi alas jati golek lenane jaga wana, yen rumangsa aman banjur dag-dog-dag-dog negori wit-wit jati sak karepe dhewe. Saka rumangsane wit-wit jati kuwi warisane mbah buyute, saenggo kanti penak kepenak ditegori.
“Dasar wong ra kena dipek emane, wes bola-bali mlebu bui ora kapok-kapok anggone ngrusak alas. Wong srakah kang ora urus temenan wong-wong iki, biyen negori kayu saiki bareng kayune entek, bonggol-bonggol jati sing ganti dicongkeli.” grenenge mantri darmo ing batin.
“Kang sampeyan nek isih iso tak eman. Sampeyan lerena kang, timbang sampeyan mengko dadi tumbale alas kene. Mumpung isih iso tak elikne, wes mandegka anggonmu pada ngrusak alas.” Tembunge mantri darmo kanti sareh supaya wong-wong kuwi ora kenyonyok atine lan banjur pada emosi. Pamrihe kecekel iwake ning aja nganti butek banyune.
“Mangertiya yo kang, warga sak kiwa tengene alas kene saikine wes padha sadar marang kaluputane kang melu ombaking jaman tanpa mikir dhawa. Warga wes pada sarujuk arep brasta blandong-blandong kayu jati kang wus ngrusak alas. Poma dipoma yen nganti ketemu wong sing ngrusak alas, entenge arep digawe cacat abote arep diuntabake ing alam kelanggengan. Kuwi kang tak rungu dhewe saka warga sing tak pethuki sak durunge aku mrene mau.” Ujare mantri darmo bacutake anggone elik-elik.
“Heh… darmo. Dapurmu ora usah kakean cangkem. Biyen kowe iso uwal saka pucuking kapak iki, nyawamu isih iso nyandet ing ragamu nganti dino iki; merga aku isih dhuwe rasa welas marang bocah bagus kaya kowe kuwi.” Sauté pawongan kang dedeg piadege gede dhuwur, brengos lan brewoke ngetapel ing raine kang abang mangar-mangar kebrongot panase srengene lan ucapane mantri darmo, karo ngadeg lan ngacung-ngacungke kapak kang gigire mingis-mingis.
“Nggih mangga kersa kang, kula mung sak derma ngelikake sampeyan-sampeyan niku. Alas niki sampun boten tanggeljawab kula. Ning ati kula kedodog kangge ngelike merga ngeman marang dika sedaya lan ugi alas jati ingkang sampun rusak kados mekaten.” Saure mantri darmo kanti tatag lan waspada. Jaga-jaga mbok menawa ana kedadeyan kang ora ngepenaki lan ngancam jiwane.
“Wes ora usah kakean cangkem maneh….. nyoh iki kanggo nyumpel lambemu!” pawongan kuwi wes ora iso ngendalekne nafsune, mbabitake kapak ing tangan ngener ing perangan sirahe mantri darmo. Untunge mantri darmo ora ilang ing kapitayan, isih iso ngendani pangamuke pawongan kasebut. Meruhi kahanan kaya mangkono mau, pawongan loro liyane banjur leren anggone njugili lemah banjur ngadek siap-siap arep melu ngroyok mantri darmo.
Lusut saka pangancame kapak kang nyaut sirahe, mantri darmo banjur mundur sak pecak jaga jarak karo wong-wong kang saiki wes pada siyaga ngroyok dhewekne. Kabeh pada nyekel gegaman arupa kapak lan linggis wesi kang siap kanggo ngoncatake nyawane. Kahanan dadi sangsaya ora ngenah, pawongan telu kuwi wes bener-bener kebrongot atine lan mantri darmo amung dhewekan ngadepi wong-wong kuwi tanpa cekelan apa-apa.
Ujug-ujug tanpa dinyana-nyana salah sawijine pawongan kang nyekeli linggis, nlorong ragane mantri darmo nganggo linggis kang sakkawit di cekeli. Mantri darmo kaget lan mlumpat ngiwa, eman anggone ngendani kurang trengginas saengga lengene isih kesrempet pucuk linggis lan tiba klumah. Klambine suwek lan getih seger mili dlewer ing lengene.
“Wes kowe saiki arep bangga piye maneh mo.. darmo. Dino iki sido tak pungkasi nyawamu.” Serune lantak wong gede dhuwur mau, karo jumangkah nyedaki mantri darmo kang kelaran, ngeses-ngeses, karo nyekeli lengene kang gudras getih.
Kanti mripat kang murub lan praupan abang, persis kaya ajag kang siap nyatek mangsane. Pawongan kuwi ngangkat kapake dhuwur-dhuwur arep dianggo bacok sirahe mantri darmo. Mantri darmo anane mung merem dipet karo donga marang Gusti Allah muga-muga padang dalane, yen pranyata pancen dino kuwi lan detik kuwi nyawane kudu dipungkasi.
“Nika pak…. Nika pak… tiyange sami teng ngrika.” Durung nganti ketekan anggone mbabitake kapake kesusu tekane warga desa kang gemrudug nglarag pawongan telu kasebut. Wurung anggone mateni mantri darmo, wong-wong kasebut pilih mlayu ngendani warga kang cacahe puluhan mau. Warga terus bujung playune pawongan telu kasebut ing ngendi wae parane. Merga saking bingung lan wedine, pawongan kang dadi tetuwane gromblolan alap-alap kayu jati kasebut, kesrimpet recek kayu jati kang malang ngadangi dalan playune, batuke pecah ditampani dening tunggak jati ing sakngarepe. Nyawane oncat rasa ragane saknalika iku uga, sido dadi tumbale alas jati wana keling.
Sauntara iku ing sisih liya panggonan, katon simbah-simbah sepuh kang lagi mlaku ngliwati dalan sak pecak karo ngendong rencek-rencek kayu jati karo ngidung layung-layung. Kidung kang gawe getering ati kang ngrungokne. Wes puluhan taun anggone seneng golek rencek kayu jati, wiwit jaman isih prawan mula saben dinane golek rencek kayu jati ing alas wana keling. Ning saiki rencek-rencek kuwi ora kaya biyen maneh. Rencek-rencek kuwi mung kari rencek-rencek jati kang mung kena diugemi ning ora kena diopeni.