Senin, 16 November 2009

Pertemuan Istimewa II (Tamat)

Aku nyalakan sign mobilku untuk belok ke jalan karangwuni, tempat aku kost selama ini. Aku masukkan kendaran ke pelataran rumah kost yang lumayan luas dan rindang karena pohon-pohon jambu air.

Seperti biasa parkir kendaraan persis di depan kamarku, aku mengambil semua barang-barang di jok belakang mobil, kemudian turun dan mengunci pintunya. Hmmm… tercium olehku segarnya rontokkan bunga-bunga jambu yang bertebaran diseluruh pekarangan ini, apalagi disisi pojok pekarangan dibawah pohon jambu bol. Serasi sekali warna bunga jambu ini.. ungu dengan baunya yang khas disempurnakan dengan pantulan-pantulan cahaya matahari yang sudah hampir tenggelam.
Aku bergegas membuka pintu kamarku, aku letakkan semua barang bawaan diatas meja. Kubuka kaus kaki yang lumayan berbau ini, maklumlah.. bujangan yang kesepian dalam kesendirian. Bujangan yang telah lewat umurnya, yang karena keterpaksaan terlempar dari peradaban manusia borjouis.

“Kringggg…. Kringgg…. Kringgg….” Jam weker peninggalan jaman kuliah berteriak nyaring membangunkan aku dari lelapnya tidurku malam ini. Jam lima kurang seperempat, aku bergegas ke kamar mandi yang terletak di sebelah samping kiri deretan kamar kost. Wuihh… segar… mandi subuh-subuh dengan air sumur asli jogjakarta ini… otot-otot tubuh serasa menjadi rileks dan membuat semangat tersendiri. Pantas saja di jogjakarta ini banyak menurunkan orang-orang hebat dari jaman mataram sampai jaman edan ini, gurauku dalam hati…
Selesai merapikan diri dan mengeluarkan barang-barang yang akan aku bawa ke surabaya. Aku ketok pintu kamar dik rendra..
“dra.. dra.. wes tangi rung? Jare arep ngeterke aku nyang maguwo” panggilku sambil menempelkan wajahku ke jendela kamarnya, soalnya aku lihat lampu kamarnya sudah menyala.
Anak ini aku kenal sangat rajin, selalu bangun pagi-pagi. Shalat subuh, mengaji alquran, dan kemudian belajar atau membaca-baca buku. Dia sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri, seperti layaknya adikku.
“Wes mas.. wes ket mau tak enteni jee!” jawabnya sambil membuka pintu kamarnya.
“Tak kiro rak sido mangkat mas…” lanjutnya sambil menutup pintu kamar dan menguncinya.
“rak sido piye karepmu? Orang dah dandan dan siap-siap ngene lho” jawabku sambil bergegas mengangkut barang-barang ke dalam mobil.
“Lha jarene trauma karo kota surabaya.”
“hayah… kowe ki lho.. “ potongku.
“he he… sori mas… guyon kok” tungkasnya sambil cengengesan. Aku memang pernah cerita sedikit tentang pengalaman masa laluku kepada rendra. Kebetulan orang tuanya sekarang sedang dinas di surabaya, dulu aku pernah mau diajaknya maen ke surabaya. Tetapi aku tolak dan aku katakan bahwa ada trauma dengan surabaya.
“Wes yuk, wes jam enem!” aku kemudikan kendaraan keluar pelataran rumah menuju jalan raya. Jalan kaliurang belum begitu ramai, aku bisa sedikit memacu laju kendaraanku ke utara, sampai di perempatan apotek Kentungan, aku belokkan kendaraan yang kami tumpangi ke kanan menyusuri jalan ring road utara menuju jalan raya solo.
Setengah jam kemudian aku sudah sampai ke Bandar udara maguwa atau adi sucipto.
“Iki dra kunci mobile, stnk-ne ning jero dompete” ucapku sambil memberikan anak kunci mobilku kepada Rendra.
“Balik maneh kapan mas, jemput ora?” Tanya Rendra setelah menerima kunci mobil.
“Paling telung dinanan wes bali. Suk yen arep bali tak kabari pethuk apa ora. Gampang kuwi.”
“Wes yo, wes telat check-in ki” jawabku sambil mengangkat tas dan barang bawaanku.
“Oke mas, ati-ati ya… nek sempat mampiro ke rumahku mas.” Jawab Rendra.
“Oke sip.” Aku melangkah menuju loket check-in.
$$$$$$$$
“Kepada penumpang yang terhormat, sebentar lagi pesawat akan segera mendarat di bandara juanda Surabaya. Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh empat puluh lima menit. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogjakarta dan Surabaya. Terimakasih telah bergabung bersama penerbangan merpati. Semoga kita berjumpa dilain kesempatan”.
Terdengar awak pesawat yang aku tumpangi memberitahukan bahwa pesawat sudah sampai di Surabaya. Jantungku semakin berdegub kencang, hatiku semakin meronta-ronta. Bibirku bergetar karena menahan gejolak kepedihan yang kini semakin jelas tergambar dalam benakku.
“Kowe kuwi sapa? Bocah ngendi lan saka sisih endi! Kok kekendelen olehmu arep dadi anak mantune keluarga besar Raden Mas Sosronagoro. Apa kowe ora ngilo jitokmu…” suara itu kembali terngiang-ngiang di telingaku. Pernyataan yang telah menyayat luka dihatiku dan ibuku tercinta, ketika kami berdua datang kerumah keluarga Sosronagoro untuk melamar putri mereka, Siska ya siska.
“Wes.. to le. Kowe rak sah getun, ora usah sedih. Bocah wadon dudu siska tok. Kowe bocah lanang kudu sing tatag lan gedhe ati.” Itulah pesan ibu terakhir sepuluh tahun yang lalu. Setelah kepergian ibu, aku pun pergi meninggalkan Surabaya. Meninggalkan segala kepedihan yang telah mencabik-cabik hati dan harga diriku serta keluargaku. Ah, seandainya dulu aku dengarkan nasehat ibuku. Tentu semuanya tidak akan terjadi…
“Taksi Cak?” lamunanku buyar ketika seseorang menawarkan jasa taksi.
“Hotel Majapahit.” Jawabku sambil masuk ke dalam taksi, dan kemudian taksi mulai berjalan meninggalkan bandara menuju hotel yang kumaksudkan.

“Pagi Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Tanya receptionis yang terlihat cantik dan ramah.
“Pagi Mbak. Saya dari jogja mbak, dari PT Kintamani Persada.” Jawabku sambil berharap receptionis sudah memiliki catatan tentang pesanan dari panitia penyelenggara kegiatan.
“Oh, dengan bapak Ir. Ariel Pamungkas ya?” kembali senyum manis resepsionis menghiasi bibirnya setelah membaca catatan di layar komputer. Senyum yang sedikit bisa meredakan ketegangan jiwaku.
“Ini bapak, kunci kamar yang sudah disediakan untuk bapak.”
“Silahkan Bapak, biar diantar sama petugas kami.” Jawabnya sambil memberi tanda kepada anak muda yang berdiri dibelakang saya.
“Terimakasih Mbak.” Jawabku sambil bergegas menuju kamar yang disediakan untukku.

Aku tertegun ketika petugas menunjukkan kamar yang dipesankan untuk aku. Wew… kamar dengan sentuhan klasih yang terasa mewah sekali bagiku.
“Silahkan Bapak, selamat beristirahat.” Kata anak muda yang mengantarkan saya.
“Terimakasih mas.” Jawabku sambil memasuki kamar.
“eh.. mas.. mas…” panggilku ketika anak muda tersebut akan meninggalkan kamarku.
“Ini buat sampeyan mas.” Kataku sambil mengulurkan uang tips kepadanya.
“Oh.. terimakasih Pak.” Ucapnya sambil tersenyum dan meminta ijin untuk kembali menjalankan tugasnya kembali.

Aku duduk di kursi busa di dekat jendela, aku buka korden jendela agar cahaya matahari pagi bisa menerangi kamar. Disamping itu aku bisa menikmati pemandangan diluar, Nampak ada beberapa orang yang sedang berenang di kolam renang bersama dengan anak, saudara atau mungkin pasangan bulan madunya.
Aku buka tas laptopku untuk mengambil undangan yang aku sisipkan di saku tas tersebut. Seingatku diundangan tersebut dilampirkan juga agenda acaranya.
Belum sempat aku membaca kembali undangan tersebut, tiba-tiba telpon di meja sampingku berdering. Aku segera mengangkat gagangnya kemudian aku tempelkan di telinga dan bibirku.
“Halo, selamat pagi.” Sapaku kepada orang diseberang telepon.
“Pagi Bapak ariel. Mohon maaf bapak mengganggu, ini dengan resepsionis hotel. Ada sambungan telpon dari luar mencari bapak. Mohon tunggu sebentar ya Bapak.” Oh ternyata dari gadis cantik resepsionis hotel.
“Halo Selamat Pagi… dengan Bapak ariel?” terdengar suara wanita menyapa aku.
“Pagi, iya betul saya sendiri.” Jawabku.
“Apakabar Bapak, bagaimana perjalanannya tadi? Senang sekali bapak bisa datang memenuhi undangan kami.” Sautnya kemudian.
“Baek, terimakasih juga atas undangannya. Mohon maaf dengan siapa saya sedang berbicara sekarang ya?” aku balik bertanya. Wanita tersebut hanya mengirimkan tawa dari seberang telepon kemudian menutupnya.
“Hah ada-ada saja. Baru juga datang sudah ada yang aneh-aneh.” Aku menghela napas dan meletakan kembali gagang telepon ke tempatnya. Dan melanjutkan menikmati suasana diluar hotel dari balik jendela kamarku. Menunggu acara seminar yang rencananya akan dimulai pukul Sembilan pagi.
ooooooooooooooooo
Aku berjalan-jalan menikmati suasana sore hari di sekitar hotel. Menikmati taman hotel yang tertata dengan rapi dan serasi. Arsitek-nya pastilah seorang yang sudah sangat berpengalaman dan memiliki jiwa seni, terlihat dari caranya mengatur susunan tanaman yang dipadukan dengan gerabah-gerabah antik asli buatan Indonesia. “Sungguh sentuhan tangan-tangan terampil dan berjiwa seni tinggi” gumamku dalam hati mengagumi keindahan yang terpampang di depanku saat ini.
Saat aku sedang mengamati patung yang terbuat dari pangkal pokok pohon jati, tiba-tiba ada seorang pelayan hotel yang menghampiri diriku.
“Selamat sore Bapak.” Sapanya ramah.
“Sore” aku menghentikan aktifitasku dan berpaling kearahnya.
“Ada apa ya?” sambungku kemudian.
“Maaf, Betul dengan Bapak Ir. Ariel Pamungkas?” tanyanya setelah kami berhadap-hadapan.
“Iya betul, saya sendiri.” Jawabku.
“Maaf, Saya diminta menyampaikan pesan ini.” jawab pelayan hotel tersebut sambil memberikan secarik kertas notes kepadaku. Aku menerimanya sambil tak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya.
Sesaat setelah pelayan yang memberikan pesan tersebut pergi meninggalkanku, Aku mulai membuka lipatan pesan tersebut dan memulai membaca pesan yang tertera didalamnya. “Mas, aku tunggu di restaurant meja nomor 2A. Sekarang.”
Aku termangu sejenak, mencoba mengenali tulisan yang rasanya sudah sangat familiar ini.
“Siska…. Mungkinkah Siska yang menulis ini?” gumamku. Aku genggam kertas tersebut dan bergegas menuju lokasi seperti yang tertera dalam pesan tersebut, daripada aku penasaran lebih baik aku buktikan bahwa benar yang menulis pesan tersebut adalah Siska, kekasihku yang telah lama hilang direnggut tatanan sosial kehidupan.
“Siska….” Aku seakan tak percaya bahwa wanita yang sedang duduk di sudut ruangan itu adalah Siska. Aku hanya tertegun dan tak sanggup untuk berkata-kata, hanya mataku saja yang mulai berkaca-kaca menahan keharuan, seakan tak percaya dengan kehadiran pujaan hatiku, tepat didepanku saat ini.
Aku lihat Siska juga berkaca-kaca diantara senyum yang menghiasi dibibirnya, ia bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiriku yang masih terdiam terpaku ditempatku berdiri, dan memelukku sambil menangis dalam dekapanku.
“Mas…. Aku kangen mas.” Terdengar lirih bisiknya diantara isak tangis yang sudah tidak terbendung lagi. Aku hanya terdiam sambil memdekap erat tubuhnya.
ooooooooooooooooo
“Maaf ya mas, sebenarnya acara ini aku yang skenariokan.” Siska menyampaikan pengakuannya sambil tersenyum dan menyandarkan kepalanya dibahuku, ketika kami melanjutkan pertemuan kami di dalam kamar hotel sambil menikmati acara di televisi.
“Oh… jadi kabeh ini dek Siska to yang mengatur.” Aku pura-pura marah kepadanya, ketika aku tahu ternyata acara seminar siang tadi adalah reka dayanya untuk mendatangkan aku kembali ke Surabaya ini.
Malam itu kami berdua melewati pertemuan yang sangat mengejutkanku sekaligus menggairahkan semangat dihatiku sampai larut malam. Dan kami pun serasa kembali ke masa-masa sepuluh tahun yang silam. Bercanda dengan penuh kemesraan melepaskan kerinduan yang terpedam sekian lama.
Sejujurnya ada perasaan berdosa dalam hatiku, karena Siska sekarang sudah ada yang memilikinya. Ingin rasanya aku segera mengakhiri pertemuan ini, tetapi perasaan cinta yang masih membara di dalam hatiku seakan-akan enggan melepaskannya kembali. Aku ingin menikmati malam ini, dan masa bodoh dengan perasaan yang lainnya. Aku tidak rela melepaskan saat yang begitu membahagiakanku saat ini. Namun akhirnya aku berpikir bahwa aku harus mengakhirinya juga, tak pantas rasanya aku menggenggam sesuatu yang sudah bukan hakku lagi untuk memilikinya.
“Dek… sudah malam. Dek Siska ora pulang? Nanti kalau dicari sama suamimu bagaimana?” dengan berat hati aku harus mengucapkan perkataan ini.
Siska mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar dibahuku, matanya nanar menatapku. Bibirnya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Mas ariel mengusir aku ya? “ suaranya terdengar lirih dan penuh dengan nada kekecewaan.
“Aku masih kangen sama mas ariel, aku ingin menghabiskan malam ini sampai pagi dengan mas ariel.” Sambungnya kemudian.
Aku hanya terdiam dan memandangi matanya, mencoba menerobos masuk jauh ke dalam relung hatinya. Begitu juga dengan Siska, sorot matanya lembut menghujam jiwaku dan seakan-akan memohon kepadaku. Aku tak kuasa menahan rasa haru dalam hatiku, kupeluk dan kudekap erat kembali tubuhnya sambil kubisikan.
“Aku juga tak ingin melepaskanmu lagi dek.”
Dan kami pun jatuh dalam pelukan dewa cinta. Rintik gerimis hujan menemani kami yang tergulung ombak asmara. Gelora cinta yang menggelegak dan tak terbendung lagi setelah terpisah sekian puluh tahun, dan malam itu kami rengkuh berdua, seakan-akan ingin kami bayar tuntas atas semua pengorbanan kami malam itu. Malam pun semakin larut menelan kami dalam dekapan dewa cinta yang memabukkan.

Tak pernah kusangka, kembaliku ke Surabaya akan membawa aku kedalam suasana yang tak terbayangkan sebelumnya. Aku pikir setelah kepergianku sepuluh tahun yang lalu, Siska telah melupakanku. Ternyata tidak, hatinya tetap membara mencari-cari diriku, sama halnya dengan hatiku yang masih terus memikirkannya selama ini.
---- Selesai ----