Ngaji, Kang Tanpa Ana Ajine
Ada orang-orang yang sholat tak pernah lewat, ngajinya lancar, statusnya penuh ayat.
Setiap hari bicara tentang agama dan ketakwaan, tapi lisan tak sejalan dengan ajaran-Nya.
Setiap kali berbicara, yang keluar hanya dusta dan curiga.
Lisannya bukan melantunkan doa, tapi menebar prasangka buruk.
Jarinya bukan sibuk menulis dzikir, tapi menyebarkan fitnah dan kebencian.
Lucunya, mereka bukan orang bodoh.
Bukan pula anak kemarin sore.
Sebagian bahkan alumnus universitas tua, pernah duduk di kursi pejabat, mengaku “ahli” ini dan itu.
Gelar sarjananya bukan sembarangan. Tak semua orang bisa menggapainya.
Tapi perilakunya... seperti orang yang tak pernah lulus dari pelajaran pertama agama: sopan santun, budi pekerti dan welas asih.
Aku jadi ingat dawuh simbah dulu:
“Wong angèl didandani kuwi dudu sing durung ngaji, nanging sing wis ngaji lan rumangsa paling ngerti.”
Ngaji, tapi tanpa ana ajine—tak punya harga diri sebagai orang alim.
Tahu dalil, tapi tak mampu menjadi penyejuk hati.
Rajin ibadah, tapi tak sanggup meneduhkan pikiran yang goyah.
Apa gunanya hafal surah panjang,
kalau tak bisa menahan lidah dari menyakiti?
Apa gunanya menyebut nama Allah berkali-kali,
kalau hatinya tak pernah belajar husnudzon?
Iba sekali hati ini, waktumu sudah sia-sia,
Sholat dan dzikir mu mung selawe menit,
sisa wektu mu isiné nyenyamah lan nyalahké liyan?
(Sisa waktunya diisi dengan menghina dan menistakan saudaranya?)
Agama itu bukan sekadar ritual dan kata-kata mutiara.
Ia harus menjelma jadi laku dan perilaku.
Karena, kata para leluhur:
Ngèlmu iku kalakone kanthi laku.
Bukan laku gaya, kang semuci suci.
Tapi laku yang pelan, dalam, menyerap ke lubuk hati.
Laku yang membuatmu menahan jari dari mencaci.
Laku yang membuatmu malu menyebut orang lain sesat, hanya karena beda pendapat.
Kadang aku membayangkan...
mungkin Gusti Allah juga sedih.
Melihat ke Agung-an Nama-Nya dipakai untuk menyebar kebencian.
Menyaksikan Kemulia-an Ilmu-Nya dipakai untuk membanggakan diri, dan tinggi hati.
Dan aku pun hanya bisa berdoa dalam keheningan:
semoga hatiku tak sekeras mereka.
Semoga aku tak tergoda menjadi orang yang merasa paling benar,
lalu menutup telinga dari siapa pun yang berbeda.
Sebab aku tahu,
agama yang benar…
adalah yang menjadikan kita lebih rendah hati, lebih tenang, lebih lembut.
Bukan lebih galak, lebih sinis, lebih sibuk menunjuk-nunjuk.
Kalau tulisan ini kau anggap sebagai sindiran,
mungkin memang itu maksudnya.
Tapi jika kau bisa merenunginya,
maka mungkin kau akan tahu:
yang disindir pertama kali adalah diriku sendiri.