Senin, 16 November 2009

Pertemuan Istimewa II (Tamat)

Aku nyalakan sign mobilku untuk belok ke jalan karangwuni, tempat aku kost selama ini. Aku masukkan kendaran ke pelataran rumah kost yang lumayan luas dan rindang karena pohon-pohon jambu air.

Seperti biasa parkir kendaraan persis di depan kamarku, aku mengambil semua barang-barang di jok belakang mobil, kemudian turun dan mengunci pintunya. Hmmm… tercium olehku segarnya rontokkan bunga-bunga jambu yang bertebaran diseluruh pekarangan ini, apalagi disisi pojok pekarangan dibawah pohon jambu bol. Serasi sekali warna bunga jambu ini.. ungu dengan baunya yang khas disempurnakan dengan pantulan-pantulan cahaya matahari yang sudah hampir tenggelam.
Aku bergegas membuka pintu kamarku, aku letakkan semua barang bawaan diatas meja. Kubuka kaus kaki yang lumayan berbau ini, maklumlah.. bujangan yang kesepian dalam kesendirian. Bujangan yang telah lewat umurnya, yang karena keterpaksaan terlempar dari peradaban manusia borjouis.

“Kringggg…. Kringgg…. Kringgg….” Jam weker peninggalan jaman kuliah berteriak nyaring membangunkan aku dari lelapnya tidurku malam ini. Jam lima kurang seperempat, aku bergegas ke kamar mandi yang terletak di sebelah samping kiri deretan kamar kost. Wuihh… segar… mandi subuh-subuh dengan air sumur asli jogjakarta ini… otot-otot tubuh serasa menjadi rileks dan membuat semangat tersendiri. Pantas saja di jogjakarta ini banyak menurunkan orang-orang hebat dari jaman mataram sampai jaman edan ini, gurauku dalam hati…
Selesai merapikan diri dan mengeluarkan barang-barang yang akan aku bawa ke surabaya. Aku ketok pintu kamar dik rendra..
“dra.. dra.. wes tangi rung? Jare arep ngeterke aku nyang maguwo” panggilku sambil menempelkan wajahku ke jendela kamarnya, soalnya aku lihat lampu kamarnya sudah menyala.
Anak ini aku kenal sangat rajin, selalu bangun pagi-pagi. Shalat subuh, mengaji alquran, dan kemudian belajar atau membaca-baca buku. Dia sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri, seperti layaknya adikku.
“Wes mas.. wes ket mau tak enteni jee!” jawabnya sambil membuka pintu kamarnya.
“Tak kiro rak sido mangkat mas…” lanjutnya sambil menutup pintu kamar dan menguncinya.
“rak sido piye karepmu? Orang dah dandan dan siap-siap ngene lho” jawabku sambil bergegas mengangkut barang-barang ke dalam mobil.
“Lha jarene trauma karo kota surabaya.”
“hayah… kowe ki lho.. “ potongku.
“he he… sori mas… guyon kok” tungkasnya sambil cengengesan. Aku memang pernah cerita sedikit tentang pengalaman masa laluku kepada rendra. Kebetulan orang tuanya sekarang sedang dinas di surabaya, dulu aku pernah mau diajaknya maen ke surabaya. Tetapi aku tolak dan aku katakan bahwa ada trauma dengan surabaya.
“Wes yuk, wes jam enem!” aku kemudikan kendaraan keluar pelataran rumah menuju jalan raya. Jalan kaliurang belum begitu ramai, aku bisa sedikit memacu laju kendaraanku ke utara, sampai di perempatan apotek Kentungan, aku belokkan kendaraan yang kami tumpangi ke kanan menyusuri jalan ring road utara menuju jalan raya solo.
Setengah jam kemudian aku sudah sampai ke Bandar udara maguwa atau adi sucipto.
“Iki dra kunci mobile, stnk-ne ning jero dompete” ucapku sambil memberikan anak kunci mobilku kepada Rendra.
“Balik maneh kapan mas, jemput ora?” Tanya Rendra setelah menerima kunci mobil.
“Paling telung dinanan wes bali. Suk yen arep bali tak kabari pethuk apa ora. Gampang kuwi.”
“Wes yo, wes telat check-in ki” jawabku sambil mengangkat tas dan barang bawaanku.
“Oke mas, ati-ati ya… nek sempat mampiro ke rumahku mas.” Jawab Rendra.
“Oke sip.” Aku melangkah menuju loket check-in.
$$$$$$$$
“Kepada penumpang yang terhormat, sebentar lagi pesawat akan segera mendarat di bandara juanda Surabaya. Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh empat puluh lima menit. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogjakarta dan Surabaya. Terimakasih telah bergabung bersama penerbangan merpati. Semoga kita berjumpa dilain kesempatan”.
Terdengar awak pesawat yang aku tumpangi memberitahukan bahwa pesawat sudah sampai di Surabaya. Jantungku semakin berdegub kencang, hatiku semakin meronta-ronta. Bibirku bergetar karena menahan gejolak kepedihan yang kini semakin jelas tergambar dalam benakku.
“Kowe kuwi sapa? Bocah ngendi lan saka sisih endi! Kok kekendelen olehmu arep dadi anak mantune keluarga besar Raden Mas Sosronagoro. Apa kowe ora ngilo jitokmu…” suara itu kembali terngiang-ngiang di telingaku. Pernyataan yang telah menyayat luka dihatiku dan ibuku tercinta, ketika kami berdua datang kerumah keluarga Sosronagoro untuk melamar putri mereka, Siska ya siska.
“Wes.. to le. Kowe rak sah getun, ora usah sedih. Bocah wadon dudu siska tok. Kowe bocah lanang kudu sing tatag lan gedhe ati.” Itulah pesan ibu terakhir sepuluh tahun yang lalu. Setelah kepergian ibu, aku pun pergi meninggalkan Surabaya. Meninggalkan segala kepedihan yang telah mencabik-cabik hati dan harga diriku serta keluargaku. Ah, seandainya dulu aku dengarkan nasehat ibuku. Tentu semuanya tidak akan terjadi…
“Taksi Cak?” lamunanku buyar ketika seseorang menawarkan jasa taksi.
“Hotel Majapahit.” Jawabku sambil masuk ke dalam taksi, dan kemudian taksi mulai berjalan meninggalkan bandara menuju hotel yang kumaksudkan.

“Pagi Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Tanya receptionis yang terlihat cantik dan ramah.
“Pagi Mbak. Saya dari jogja mbak, dari PT Kintamani Persada.” Jawabku sambil berharap receptionis sudah memiliki catatan tentang pesanan dari panitia penyelenggara kegiatan.
“Oh, dengan bapak Ir. Ariel Pamungkas ya?” kembali senyum manis resepsionis menghiasi bibirnya setelah membaca catatan di layar komputer. Senyum yang sedikit bisa meredakan ketegangan jiwaku.
“Ini bapak, kunci kamar yang sudah disediakan untuk bapak.”
“Silahkan Bapak, biar diantar sama petugas kami.” Jawabnya sambil memberi tanda kepada anak muda yang berdiri dibelakang saya.
“Terimakasih Mbak.” Jawabku sambil bergegas menuju kamar yang disediakan untukku.

Aku tertegun ketika petugas menunjukkan kamar yang dipesankan untuk aku. Wew… kamar dengan sentuhan klasih yang terasa mewah sekali bagiku.
“Silahkan Bapak, selamat beristirahat.” Kata anak muda yang mengantarkan saya.
“Terimakasih mas.” Jawabku sambil memasuki kamar.
“eh.. mas.. mas…” panggilku ketika anak muda tersebut akan meninggalkan kamarku.
“Ini buat sampeyan mas.” Kataku sambil mengulurkan uang tips kepadanya.
“Oh.. terimakasih Pak.” Ucapnya sambil tersenyum dan meminta ijin untuk kembali menjalankan tugasnya kembali.

Aku duduk di kursi busa di dekat jendela, aku buka korden jendela agar cahaya matahari pagi bisa menerangi kamar. Disamping itu aku bisa menikmati pemandangan diluar, Nampak ada beberapa orang yang sedang berenang di kolam renang bersama dengan anak, saudara atau mungkin pasangan bulan madunya.
Aku buka tas laptopku untuk mengambil undangan yang aku sisipkan di saku tas tersebut. Seingatku diundangan tersebut dilampirkan juga agenda acaranya.
Belum sempat aku membaca kembali undangan tersebut, tiba-tiba telpon di meja sampingku berdering. Aku segera mengangkat gagangnya kemudian aku tempelkan di telinga dan bibirku.
“Halo, selamat pagi.” Sapaku kepada orang diseberang telepon.
“Pagi Bapak ariel. Mohon maaf bapak mengganggu, ini dengan resepsionis hotel. Ada sambungan telpon dari luar mencari bapak. Mohon tunggu sebentar ya Bapak.” Oh ternyata dari gadis cantik resepsionis hotel.
“Halo Selamat Pagi… dengan Bapak ariel?” terdengar suara wanita menyapa aku.
“Pagi, iya betul saya sendiri.” Jawabku.
“Apakabar Bapak, bagaimana perjalanannya tadi? Senang sekali bapak bisa datang memenuhi undangan kami.” Sautnya kemudian.
“Baek, terimakasih juga atas undangannya. Mohon maaf dengan siapa saya sedang berbicara sekarang ya?” aku balik bertanya. Wanita tersebut hanya mengirimkan tawa dari seberang telepon kemudian menutupnya.
“Hah ada-ada saja. Baru juga datang sudah ada yang aneh-aneh.” Aku menghela napas dan meletakan kembali gagang telepon ke tempatnya. Dan melanjutkan menikmati suasana diluar hotel dari balik jendela kamarku. Menunggu acara seminar yang rencananya akan dimulai pukul Sembilan pagi.
ooooooooooooooooo
Aku berjalan-jalan menikmati suasana sore hari di sekitar hotel. Menikmati taman hotel yang tertata dengan rapi dan serasi. Arsitek-nya pastilah seorang yang sudah sangat berpengalaman dan memiliki jiwa seni, terlihat dari caranya mengatur susunan tanaman yang dipadukan dengan gerabah-gerabah antik asli buatan Indonesia. “Sungguh sentuhan tangan-tangan terampil dan berjiwa seni tinggi” gumamku dalam hati mengagumi keindahan yang terpampang di depanku saat ini.
Saat aku sedang mengamati patung yang terbuat dari pangkal pokok pohon jati, tiba-tiba ada seorang pelayan hotel yang menghampiri diriku.
“Selamat sore Bapak.” Sapanya ramah.
“Sore” aku menghentikan aktifitasku dan berpaling kearahnya.
“Ada apa ya?” sambungku kemudian.
“Maaf, Betul dengan Bapak Ir. Ariel Pamungkas?” tanyanya setelah kami berhadap-hadapan.
“Iya betul, saya sendiri.” Jawabku.
“Maaf, Saya diminta menyampaikan pesan ini.” jawab pelayan hotel tersebut sambil memberikan secarik kertas notes kepadaku. Aku menerimanya sambil tak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya.
Sesaat setelah pelayan yang memberikan pesan tersebut pergi meninggalkanku, Aku mulai membuka lipatan pesan tersebut dan memulai membaca pesan yang tertera didalamnya. “Mas, aku tunggu di restaurant meja nomor 2A. Sekarang.”
Aku termangu sejenak, mencoba mengenali tulisan yang rasanya sudah sangat familiar ini.
“Siska…. Mungkinkah Siska yang menulis ini?” gumamku. Aku genggam kertas tersebut dan bergegas menuju lokasi seperti yang tertera dalam pesan tersebut, daripada aku penasaran lebih baik aku buktikan bahwa benar yang menulis pesan tersebut adalah Siska, kekasihku yang telah lama hilang direnggut tatanan sosial kehidupan.
“Siska….” Aku seakan tak percaya bahwa wanita yang sedang duduk di sudut ruangan itu adalah Siska. Aku hanya tertegun dan tak sanggup untuk berkata-kata, hanya mataku saja yang mulai berkaca-kaca menahan keharuan, seakan tak percaya dengan kehadiran pujaan hatiku, tepat didepanku saat ini.
Aku lihat Siska juga berkaca-kaca diantara senyum yang menghiasi dibibirnya, ia bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiriku yang masih terdiam terpaku ditempatku berdiri, dan memelukku sambil menangis dalam dekapanku.
“Mas…. Aku kangen mas.” Terdengar lirih bisiknya diantara isak tangis yang sudah tidak terbendung lagi. Aku hanya terdiam sambil memdekap erat tubuhnya.
ooooooooooooooooo
“Maaf ya mas, sebenarnya acara ini aku yang skenariokan.” Siska menyampaikan pengakuannya sambil tersenyum dan menyandarkan kepalanya dibahuku, ketika kami melanjutkan pertemuan kami di dalam kamar hotel sambil menikmati acara di televisi.
“Oh… jadi kabeh ini dek Siska to yang mengatur.” Aku pura-pura marah kepadanya, ketika aku tahu ternyata acara seminar siang tadi adalah reka dayanya untuk mendatangkan aku kembali ke Surabaya ini.
Malam itu kami berdua melewati pertemuan yang sangat mengejutkanku sekaligus menggairahkan semangat dihatiku sampai larut malam. Dan kami pun serasa kembali ke masa-masa sepuluh tahun yang silam. Bercanda dengan penuh kemesraan melepaskan kerinduan yang terpedam sekian lama.
Sejujurnya ada perasaan berdosa dalam hatiku, karena Siska sekarang sudah ada yang memilikinya. Ingin rasanya aku segera mengakhiri pertemuan ini, tetapi perasaan cinta yang masih membara di dalam hatiku seakan-akan enggan melepaskannya kembali. Aku ingin menikmati malam ini, dan masa bodoh dengan perasaan yang lainnya. Aku tidak rela melepaskan saat yang begitu membahagiakanku saat ini. Namun akhirnya aku berpikir bahwa aku harus mengakhirinya juga, tak pantas rasanya aku menggenggam sesuatu yang sudah bukan hakku lagi untuk memilikinya.
“Dek… sudah malam. Dek Siska ora pulang? Nanti kalau dicari sama suamimu bagaimana?” dengan berat hati aku harus mengucapkan perkataan ini.
Siska mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar dibahuku, matanya nanar menatapku. Bibirnya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Mas ariel mengusir aku ya? “ suaranya terdengar lirih dan penuh dengan nada kekecewaan.
“Aku masih kangen sama mas ariel, aku ingin menghabiskan malam ini sampai pagi dengan mas ariel.” Sambungnya kemudian.
Aku hanya terdiam dan memandangi matanya, mencoba menerobos masuk jauh ke dalam relung hatinya. Begitu juga dengan Siska, sorot matanya lembut menghujam jiwaku dan seakan-akan memohon kepadaku. Aku tak kuasa menahan rasa haru dalam hatiku, kupeluk dan kudekap erat kembali tubuhnya sambil kubisikan.
“Aku juga tak ingin melepaskanmu lagi dek.”
Dan kami pun jatuh dalam pelukan dewa cinta. Rintik gerimis hujan menemani kami yang tergulung ombak asmara. Gelora cinta yang menggelegak dan tak terbendung lagi setelah terpisah sekian puluh tahun, dan malam itu kami rengkuh berdua, seakan-akan ingin kami bayar tuntas atas semua pengorbanan kami malam itu. Malam pun semakin larut menelan kami dalam dekapan dewa cinta yang memabukkan.

Tak pernah kusangka, kembaliku ke Surabaya akan membawa aku kedalam suasana yang tak terbayangkan sebelumnya. Aku pikir setelah kepergianku sepuluh tahun yang lalu, Siska telah melupakanku. Ternyata tidak, hatinya tetap membara mencari-cari diriku, sama halnya dengan hatiku yang masih terus memikirkannya selama ini.
---- Selesai ----

Senin, 12 Oktober 2009

Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku


Sobat,
Malam itu kau hampiri aku
Yang tengah kedinginan dan kesepian
Kau belai hatiku dengan filsafatmu
Kau buka hatiku tentang arti Tuhan.

Sobat,
Malam itu kau hampiri aku
Yang tengah galau diantara persimpangan
Kau belai hatiku dengan imanmu
Kau ajari aku tentang kearifan dan kebijaksanaan.

Sobat,
Malam itu aku hampiri dirimu
Yang tengah bimbang menapaki hidup
Kubelai hatimu dengan kalimah Tuhanku
Kubuka hatimu tentang ke-Agungan-NYA.

Sobat,
Malam itu aku hampiri dirimu
Yang tengah ragu akan kehidupan
Kubelai hatimu dengan sabda Nabiku
Kubuka hatimu tentang kemuliaan kita.

Sobat,
‘Jalan’-mu bukanlah ‘Jalan’-ku
Dan ‘Jalan’-ku bukanlah ‘Jalan’-mu
Namun tujuan kita adalah Satu!
Dia Yang Maha Arif dan Bijaksana.

Sobat,
Aku akan tetap di ‘Jalan’-ku
Kau pun tetap di ‘Jalan’-mu
Dan kita tetap akan berbagi,
Berbagi bumi ini sampai akhir nanti.

[Dapet nomor 2 di Lomba Karya Kita Konser Iwan Fals edisi september 2009 - Seperti Matahari]

Rabu, 19 Agustus 2009

BERSATULAH INDONESIA!!!


Indonesia, sebuah kata yang akan terpatri selama hayat dikandung badan. Sebuah negeri yang dengan cinta dan kasih sayang alamnya telah memberikan segala yang dimilikinya buat hidupku. Lautnya, Gunungnya, Sungainya, Hutannya, Buminya, semua ia persembahkan bagi kami anak-anak pertiwi. Disinilah darahku tertumpah, disinilah aku melewati masa-masa kecilku, bermain, bernyanyi, menari, tertawa, menangis, dan bergembira ria. Menikmati sejuknya air sungai ketika kami berenang dan mencari ikan. Menikmati segala kebebasan dalam mengekspresikan kreativitas kami. Dan meluapkan segala yang tersimpan di dalam dada.
Indonesia, harus kita jaga bersama-sama dari tangan-tangan jahil yang hendak memporak-porandakan tatanan kehidupannya. Harus kita lindungi bersama-sama dari insan-insan yang hatinya telah terkotori oleh nafsu dan pemikiran merasa benar sendiri. Dari pengrusakan oleh sebagian anak-anak pertiwi, yang hatinya telah disusupi oleh kesombongan, kepongahan, kecongkaan, keserakahan, dan kebodohan.
Satu hal yang dapat kita lakukan untuk menghentikan mereka adalah Bersatu, ya kita harus bersatu padu, membersihkan jiwa dan pikiran kita dari segala sifat angkara murka dan keserakahan. Kita harus bersatu melawan setiap bentuk kejahatan dilingkungan sekitar kita masing-masing. Dengan cara kita saling perduli dan saling menjaga. Bumi Indonesia ini adalah milik kita bersama, jangan pernah rela ada darah yang menetes sia-sia disetiap jengkal tanah ini. Seperti tragedi terorisme yang acap kali mengusik kedamaian kita. Mengapa sampai terjadi? karena kita sudah hidup terkotak-kotak, tidak lagi memperhatikan dan perduli pada lingkungan sekitar kita, tetangga kita, dan sahabat-sahabat kita. Sehingga negeri ini menjadi sarang teroris, sarang penjahat, dan sarang koruptor. Seandainya saja kita saling menjaga dan mengingatkan dalam kebaikan, bersatu membangun negeri yang elok ini, dengan ijin Tuhan, kita akan senantiasa hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Maka bersatulah Indonesia, bersatu memerangi segala bentuk kejahatan di bumi Indonesia.

[He he... lumayan Juara 3 Lomba Karya Kita edisi Agustus 2009 dari Tiga Rambu-nya Mas Iwan Fals - http://www.iwanfals.co.id/news/view/id/235]

Jumat, 07 Agustus 2009

Ketika Aku Mati


Ketika aku mati nanti......

Biarkan bumi menelan semuanya
Jika ternyata tanah adalah kuburku.
Biarkan samudra melarutkan semuanya
Jika ternyata air adalah pelabuhanku.
Biarkan bara panas menghanguskan semuanya
Jika ternyata api adalah tungkuku.

Ketika aku mati nanti....

Biarkan kuburku tanpa nisan
Jika ternyata kuburan adalah tempat tidurku.
Biarkan aku lenyap dalam kesenyapan
Jika ternyata kehampaan dan kekosongan adalah rumahku.
Biarkan aku terbang bersama angin malam
Jika sang angin adalah kendaraan moksha-ku.
Yang akan membawaku terbang kehadapan-NYA
Untuk bersujud dan bersimpuh di Kaki-NYA.

share on facebook

Selasa, 14 Juli 2009

Yogyakarta


Dari puncak plawangan
Disisi selatan gunung merapi
Kupandang Yogyakarta
Disela tetesan hujan gerimis

Kulihat ada kedamaian
Kesederhanaan dan keluguan
Meskipun aku tau
Banyak cibiran untukmu

Biarlah!
Aku tak perduli
Aku tetap mencintaimu
Aku selalu merindukanmu
Aku sedih berpisah denganmu

share facebook

Kebahagian Sejati

Cinta, belum berarti
Manakala ia mengikat hati
Kebebasan, takkan berarti
Manakala ia lepas kendali
Kebahagian, jadi tak berarti
Manakala tersesali kepergiannya
Kebahagian sejati.......
Hanya ada dalam hati
Hati yang sadar akan dirinya.

share on facebook

Purnama Sidi


Disela semilirnya angin malam
Berhembus dari Tangkuban prau
Terdengar serak burung malam
Mengigau dipucuk pohon randu

Awan merah jambu
Bergelantungan dibatas cakrawala
Menatap rembulan tua
Mengharap pancaran sinarnya

Semburat malas wajah purnama
Terhimpit keresahan mega mendung
Mencari-cari celah untuk tersenyum
Menyibak tirai keresahan jiwa

Setapak kaki perjalan hidup
Berangsur meninggalkan kehidupan
Berjalan kealam maya nan nyata
Tak akan ada rasa sesal
Dalam jiwa nan tenang

Firasat


Saat lelap dalam buaian mimpi
Selintas angan semu menerpa
Sekilas senyuman mencipta janji
Penantian yang akan terhenti
Tersentak dikeheningan suasana
Firasat batin berkata, bukan!
Hanya teriakan memanggil
Sebuah harapan telah luluh
Bersama tetes-tetes peluh
Bersimpuh dihadapan-NYA
Bertanya-tanya akan sabda-NYA
Benarkah ini garis kehidupannya.

Ajaran-MU


Rabbi, Kau ajari aku
Pelajaran tentang kehidupan
Rabbi, Kau ajari aku
Pelajaran tentang keikhlasan
Rabbi, Kau bimbing aku
Berjalan menuju Kehadlirat-MU
Rabbi, Kau buka bashirahku
Untuk merenungi ke-Agungan-MU
Tak perlu aku berteriak-teriak
Agar suaraku menembus langit ke tujuh
Untuk berbicara dengan-MU
”Aku dekat, lebih dekat dari nadi lehermu”
Rabbi, aku ingin selalu bersama-MU
Aku ingin tenggelam dalam kuasa-MU
Aku ingin menyelam di luasnya Cinta Kasih-MU
Rabbi, terimalah aku
Bimbinglah jiwaku, untuk kembali kepada-MU.

Maruta


Larut sudah jalan ini
Bergeser dari masa ke masa
Menembus lorong-lorong tirani
Menghujam ke dasar bumi
Melunturkan segala angkara
Menumbuhkan jiwa derma
Melalui delapan unsur kebenaran
Bersinar bagaikan mutiara
Dalam gelapnya malam pekat
Oleh terpaan kilauan mata hati
Hati yang memantulkan Cahaya
Cahaya Sang Maha Suci
Demikianlah adanya
Wahai, putaran roda hidup
Garis hidup hanya tergores sekali
Tak’an kembali ke awal kehidupan.

Anak Lanang


Ngger… anakku
Jangan berkhayal kau
Tentang cinta
Jangan bermimpi kau
Tentang kebanggaan
Jangan melamun kau
Tentang kenikmatan

Ngger... anakku
Mari kuajari kau
Tentang kecintaan
Tentang kebanggaan
Tentang kenikmatan

Dengar! Ngger...anakku
Cintailah Tuhanmu melebihi segalanya
Banggakan orangtua-mu
Dengan keutamaan ahlakmu
Carilah kenikmatan hidup
Dengan menjaga keseimbangan
Jiwa sucimu....

Ngger anakku....
Itu warisan dariku
Jagalah itu, cah bagus
Semoga Tuhan berkenan kepadamu
Dan menjadikanmu manusia mulia.
[amin]

share on facebook

Kamis, 09 Juli 2009

BUNGA LOTUS


Jika kau bertanya padaku
Seberapa besar cintaku
Dan seberapa dalam kasihku
Padamu

Maka hanya kebisuan dan keheningan
Yang akan kau dengar dari bibirku
Sebab aku bukanlah pengobral cinta
Yang setia mengumbar kata-kata.

Jika kau ingin melihat cinta
Datanglah kau didekatku
Tataplah mataku dalam-dalam
Sentuhlah hatiku dengan hatimu

Maka kau akan melihat cinta
Yang tak sempat kusampaikan lewat kata
Sebab cinta hanya bisa dirasakan
Dengan kesetian dalam pengorbanan.

Mendekatlah padaku, Genggamlah jemariku
Akan kubuktikan kesetiaan dan ketulusanku
Dengan perbuatan nyata, dan
Bukan dengan bualan kata-kata semata.

share on facebook

Kamis, 18 Juni 2009

‘Bintang Fajar’ itu telah pergi


“Mbak, ada tamu tuh di depan” tiba-tiba febi mendekati aku dan memberi tahukan ada tamu untukku.
“Siapa feb?” tanyaku sambil masih konsentrasi pada pekerjaanku.
“Nggak tahu mbak, bapak-bapak setengah baya bersama anak kecil. Buruan mbak, ditemui dulu. Biar aku yang membereskan pekerjaan itu.” Jawab febi sambil bersiap-siap mengambil alih pekerjaanku.
“Udah mbak, tinggalin sana. Kasihan lho, sepertinya dari jauh.” Sergah febi sambil merebut keyboard dan tempat aku duduk.
Aku segera beranjak ke ruang tamu kantorku. Aku tertegun, darahku berdesir, jantungku berdegub kencang sekali. Seakan-akan tak percaya dengan apa yang kulihat pagi itu.
“mas satrio…..” gumamku perlahan bahkan hampir tidak bersuara.
Ya, dia mas satrio. Mas satrio yang dulu pernah mengisi hari-hariku, sepuluh tahun yang lalu. Aku pernah sekali bertemu dengannya saat ada rekrutasi disebuah perusahaan di Jakarta; lima tahun yang lalu.
Pria itu berdiri dari duduknya, tersenyum dan mengulurkan tangannya sambil berkata
“Assalamualaikum, apakabarnya jeng?”
Aku meraih tangannya dengan gemetar dan perasaan bergetar. “E.. ee… waalaikum salam mas” jawabku tersendat.
“Alhamdulillah kabarku baik mas. Mas… sa.. satrio gimana kabarnya?”
“E.. silahkan duduk mas…” jawabku kemudian sambil mempersilahkannya duduk kembali.
“Terima kasih Jeng.” Sautnya sambil kembali ke tempat duduknya semula. Sementara aku mengambil tempat duduk dikursi panjang di hadapannya.
“Kabarku alhamdulillah baek juga jeng. Jeng rasti masih ingat saya to?” Lanjutnya kemudian sambil melepaskan senyuman. Belum sempat aku menjawabnya ia sudah beranjak berdiri sambil berkata “Oh iya…. Sebentar jeng.”
Mas satrio berdiri dan bergegas keluar dari ruang tamu. Sejenak kemudian ia sudah kembali dengan menggandeng seorang gadis kecil nan cantik dan lincah.
“E… Tiara. Salim dulu sama tante ya nak ya”
“Ini Tiara jeng, anakku satu-satunya.” Mas satrio memperkenalkan putrinya sambil membimbing tangan putrinya untuk bersalaman denganku. Tiara meraih tanganku dan menciumnya.
“Aduh pinternya anak cantik…” aku membalas dengan mencium pipinya yang merah merona itu. Ingin rasanya aku mencubitnya.
“Oh iya tiara, mana oleh-oleh yang tadi tiara persiapkan buat tante.” Mas satrio bertanya kepada putrinya.
Tiara tersenyum kemudian berjalan ke belakang kursi tempat ayahnya duduk, dan beberapa saat kemudian sudah berdiri kembali dihadapanku sambil mengulurkan sebuah bungkusan berwarna merah muda kepadaku.
“Apa ini sayang?” aku menerima bungkusannya sambil memeluknya. Aku sudah mulai bisa menguasai keadaan sekarang dan bisa merasa rileks kembali.
“Oleh-oleh buat tante.” Jawabnya sambil beranjak duduk disampingku. Aku tersenyum dan membelai-belai rambutnya yang lurus dan halus.
“Oh iya mas. Kok berdua saja, mana bundanya tiara?” aku bertanya sambil memalingkan wajah kearahnya.
Kulihat mas satrio hanya tersenyum saja, tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku.
“Tante…. Sekolahnya luas sekali ya tante?” Tiba-tiba tiara mengajukan pertanyaan kepadaku.
“Oh iya sayang…. Ini namanya sekolah terpadu. Tiara mau sekolah disini?” aku balik bertanya kepadanya.
“hi.. hi…. Mau. Memang ada sekolah TK-nya?” dia tertawa kecil sambil kembali mengajukan pertanyaan.
“Oh ada dong, sayang. Kalau Tiara sekolah disini, nanti dari TK bisa langsung ke SD dan SMP disini sekalian. Mau tiara sekolah disini?” aku rasa tiara adalah anak yang cerdas dan lincah, sinar matanya begitu berbinar-binar menampakkan sesuatu yang luar biasa kelak dikemudian hari. Kami kemudian terlibat dalam pembicaraan yang sepintas-sepintas, kurang lebih setengah jam mas satrio berbincang-bincang denganku saat itu.
“E.. jeng. Disini penginapan yang terdekat dimana ya?”
“Kami tadi dari bandara langsung menuju kesini, dan belum sempat mencari tempat istirahat.” Mas satrio memotong pembicaraanku dengan tiara.
“Oh, sebentar mas. Aku agak-agak kuper untuk urusan yang satu ini mas.” Aku beranjak dari tempat dudukku untuk menanyakan kepada teman-teman kantorku, dimana kiranya hotel yang layak buat mas satrio beristirahat.
Yah, aku tahu sih ada beberapa hotel di sekitar tempat aku bekerja, tapi aku perlu pertimbangan dari temen-temen juga yang sudah lebih paham dengan seluk beluk kota ini. Setelah mendapatkan saran dari beberapa temanku, aku kembali menemui mas satrio di ruang tamu. Aku lihat mas satrio sepertinya sedang terlibat diskusi kecil dengan tiara sambil melihat-lihat ikan hias di aquarium yang sengaja di pasang diruang tamu kantorku.
“Aduh… sedang pada serius sekali ya.” Aku menyapa mereka berdua.
“Ini mas, mungkin mas satrio bisa coba menginap di hotel kencana ini saja mas. Tempatnya tidak jauh dan suasananya juga nyaman. Ada restorannya juga, kata teman-teman; makanannya juga enak-enak. Cocok lah dengan selera mas satrio.”
“Aku telpon kan dulu ya mas, buat booking room-nya.”
“e.. e.. tidak usah, tidak usah jeng. Wes ben aku kesana aja langsung.”
“Kira-kira kalau dari sini saya musti berjalan ke arah mana? Nggak jauh kan?” jawab mas satrio sambil menanyakan dimana tepatnya hotel kencana yang aku maksud.
“Oh gitu. Mas satrio bisa jalan kaki saja dari gerbang depan sekolah, nanti jalan aja ke sisi kiri ya. Nggak jauh kok mas, masih satu jalan dengan sekolah ini, paling kira-kira 10 menitan lah.”
“Apa mau aku temani kesana mas?”
“O.. jangan-jangan. Wes ben aku sama tiara kesana saja sendiri. Nanti malah mengganggu jam kerja jeng rasti.”
“Oh iya, boleh aku minta nomor hp-nya. Nanti malam kalau ada waktu senggang bolehkan aku mengundang jeng rasti makan malam. Besok liburkan?” lanjutnya.
“Oh ada mas. Insya Allah nanti malam ada waktu kok.”
“Ini nomor hp saya ada di kartu nama ini.” aku berikan sebuah kartu namaku kepada mas satrio.
Mas satrio menerimanya sambil membacanya sebentar kemudian memasukkannya ke saku kemejanya.
“Ok, kalau begitu aku pamitan dulu jeng. Aku rasa sudah terlalu lama mengganggu jam kerja jeng rasti. Sudah hampir setengah jam. Nanti aku sms kalau sudah dapat kamarnya.”
“Tiara…. Ayoo… kita istirahat dulu yukk sayang. Salim dulu sama tante ya.” Mas satrio memanggil tiara yang masih asyik mengamati ikan-ikan kecil di aquarium.
“Tante… tiara pulang dulu ya.” Ucapnya ketika menjabat tanganku untuk yang kedua kalinya.
“Iya sayang…. “ aku tersenyum menyambutnya.
“Ya sudah jeng, aku pergi dulu ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam…” balasku sambil mengantarkannya sampai ke pintu depan ruang tamu. Aku lambaikan tanganku ke arah tiara untuk membalas lambaian tangannya saat mereka berdua mulai menyusuri jalan setapak menuju jalan raya.

------00-------
Malam itu mas satrio jadi mengundang makan malam aku. Lucu juga kalau diingat-ingat, harusnya aku yang mengundang makan malam mas satrio. Bukankah aku yang menjadi tuan rumah di kota itu, bukan mas satrio. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, mas satrio lah yang mengundang makan malam aku.
Mas satrio mengundang makan malam kami di hotel kencana tempatnya menginap. Kami? Ya kami. Sebab malam itu aku datang tidak sendirian, tetapi aku ditemani oleh calon suamiku. Sekalian mau memberikan kejutan buat mas satrio. Ya aku pernah bilang ke mas satrio, saya bisa menjadi apapun yang saya mau. Bahkan dengan keputusan yang kadang-kadang sangat mengejutkan.
Malam itu suasana begitu hangat, kami berempat berbicara dengan akrab layaknya sebuah keluarga yang telah lama tidak bersua. Mas satrio begitu rileksnya berbincang-bincang dengan calon suamiku. Sementara aku bercanda dan bersenda gurau dengan Tiara, yang harus aku akui kehebatannya dan kecerdasannya untuk anak kecil seukuran dia. Mungkin menurun dari bapaknya, mas satrio.
“Mas satrio, mau tinggal berapa lama disini?” aku dengar calon suamiku bertanya ke mas satrio tengtang rencana kunjungannya di kota kami.
“Rencananya sih dua atau tiga hari disini. Tapi sepertinya nggak jadi, ada keperluan mendadak besok senin lusa. Tadi ada telepon dari Jakarta, katanya senin saya harus datang ke kantor.” Jawab mas satrio.
“Wah kok terburu-buru sekali mas. Bukannya mas satrio sudah mengajukan cuti?” sambung calon suamiku.
“Iya, lha wes mau gimana lagi mas. Wong katanya penting banget.” Mas satrio tersenyum menjawab pertanyaannya. Tak terasa malam semakin larut, tiara sudah sedari tadi tertidur dipangkuanku, mas satrio pun sudah terlihat tidak bersemangat lagi berbincang-bincang. Sebab dia lebih banyak diam dan hanya menimpali pembicaraan kami. Mungkin dia juga sudah lelah dan ingin istirahat, kami pun putuskan untuk berpamitan pulang.
"Mas, kami mau pulang dulu. Sudah malam sepertinya." Aku meminta ijin untuk pulang.
"Oh gitu, ok lah.... senang bisa bertemu dengan kalian berdua hari ini." jawabnya sambil tersenyum, tetapi kali ini aku rasa ada senyuman lain yang tergambar diwajahnya. Mas satrio, mengambil alih tiara dari gendonganku, dan saat itu tatapan mata kami beradu tanpa sepengetahuan calon suamiku. Hatiku bergetar menerima tatapan mata mas satrio, sebab aku lihat ada sesuatu yang lain yang dipancarkan dari sorot matanya yang terlihat sendu.
Keesokan harinya, ketika aku masih sibuk dengan pekerjaan rumahku, tiba-tiba ada sms masuk ke HP-ku. Aku bergegas untuk membuka dan membacanya.
“Jeng, aku dan tiara sudah boarding untuk penerbangan Lion jam 10.00. Maaf, tadinya aku mau memintamu untuk menemani aku membimbing dan membesarkan tiara. Tapi rupanya aku sudah terlambat. Selamat ya jeng, Semoga jeng rasti bahagia selamanya.”
Aku bagaikan tersengat aliran listrik tegangan tinggi ketika membaca sms yang dikirimkan oleh mas satrio, pagi itu. Tubuhku bergetar dan serasa lemas, jadi semalam itu mas satrio telah berbohong kepada kami, dengan mempercepat rencana kunjungannya. Rupanya dia kecewa dengan kejutanku semalam.
“Maafkan aku mas. Aku tidak tahu maksud kedatanganmu yang tiba-tiba kemarin itu.” Tanpa terasa air mataku jatuh membasahi pipiku; Ya aku tahu mas satrio masih menyimpan perasaannya buat aku, dan beberapa hari yang lalu sebelum ini memang mas satrio banyak bercerita banyak hal. Mas satrio beberapa kali mengatakan lewat email-emailnya bahwa dia masih mencintai aku seperti dulu saat kita masih jalan bersama, sampai suatu ketika pilihan orang tua-lah yang memisahkan kami. Aku menjadi merasa sangat bersalah dan berdosa. Dia juga sempat menanyakan tentang kesedianku untuk kembali bersamanya, dan aku bilang “aku akan memikirkannya kembali.” Rupanya hal itu ditangapi serius oleh mas satrio.

--------00--------

“Mas satrio…. “ aku memanggil seseorang yang berdiri di tepat di depanku pada acara wisuda anakku yang pertama Raditya.
“Loh… sampeyan jeng…. Jeng.. Jeng rastri ya!” Mas satrio berbalik dengan raut wajah terkejut dan terkesan surprise. Ya aku masih mengenali mas satrio, meskipun kini dia sudah banyak berubah. Rambutnya sudah mulai dipenuhi dengan warna putih, wajahnya juga sudah mulai dihiasi dengan lipatan-lipatan dibeberapa bagian. Tapi satu hal yang tak-akan berubah dalam diri mas satrio. Gaya bicaranya dan senyumannya, yang aku rasa masih sama dengan yang dulu.
“Sedang menghadiri wisuda juga?” tanyanya begitu bergairah, aku membaca masih ada rasa yang terpendam dihatinya.
“Wisudanya raditya mas, anak pertamaku.” Sautku pendek.
“Lha mana suami dan anakmu jeng?” Tanya mas satrio sambil melemparkan pandangannya berkeliling mencari suami dan anakku, ketika melihat aku berdiri hanya sendirian diruang itu.
“Lagi ada keperluan. Nanti kan kesini lagi mereka.”
“Mas satrio sendiri?” aku balik bertanya.
“Aku juga lagi ngeterke Tiara wisuda juga?” jawabnya.
“Oh baru lulus juga ya?”
“Iya… baru selesai S2-nya. Lha itu apa anaknya kesini.” Mas satrio menunjukkan jemari tangannya ke arah seorang gadis bertoga yang sangat-sangat cantik.
Aku alihkan pandanganku mengikuti telunjuk jarinya, aku tidak akan lupa dengan sorot matanya seperti 20 tahun yang lalu. Sorot mata seorang gadis kecil yang begitu manja kepadaku.
“Tiara ini, ibu rastri. Salim dulu nak.” Dengan sopan tiara menjulurkan tangannya dan mencium tanganku.
“Tiara masih ingat nggak nduk? Dulukan kita pernah ke tempat ibu rastri ini” Tanya mas satrio kepada tiara.
Tiara hanya tersenyum lebar menatap aku.
“He he… sudah lupa ya. Iya lha wong dulu kamu masih kecil waktu bapak ajak kesana. Masih 5 tahun.”
“Selamat ya nak tiara, sekarang sudah besar dan sudah lulus S2 lagi.” Aku menyela pembicaraan.
“Trus rencananya gimana habis ini, kapan mau ngasih cucu ke bapak?” aku mengajukan pertanyaan sembari menggoda tiara.
Tiara tersenyum tersipu sambil berkata “Ah… belum kok tante.”
“he he… mbuh itu jeng. Malahan habis wisuda ini aku arep ditinggal dhewekan. Kebetulan tiara ini kan wes dapat kerjaan di departemen luar negeri, dan katanya mau dikirim jadi diplomat di Belgia apa di Belanda. Aku sendiri yo rak mudeng.”
“Wah… yo hebat to mas. Putrine mas satrio ini, jarang-jarang lho mas, masih muda wes dipercaya menjadi duta Negara.” Aku menyatakan kekagumanku pada tiara.
“he he… lha tapi aku wes tuwa jeng. Sing ngurusi terus sapa aku iki mengko” mas satrio tertawa sambil memeluk anaknya.

Itulah pertemuan terakhirku dengan mas satrio 20 tahun kemudian setelah terakhir kali bertemu. Dan entah suatu kebetulan atau bagaimana, ternyata kami sekarang tinggal sekota lagi di kota gudeg Yogyakarta ini. Suatu hal yang tak terduga sebelumnya, dan ini menjadi jalan bagi kami untuk kembali mejalin silaturahmi. Tentu hubungan silaturahmi yang masih dalam koridor yang benar.

Dan pagi ini, tepat dihari ulang tahun mas satrio yang ke 63. Aku masih duduk termangu di teras rumah sakit sardjito. Air mataku masih menetes membasahi pipiku yang sudah mulai menua juga. Semalaman aku menemani mas satrio disaat-saat terakhirnya. Dan tadi pagi-pagi ketika adzan subuh berkumandang, tiba-tiba mas satrio terbangun dari tidurnya. Aku melihatnya dia begitu bergairah dan ceria, matanya berbinar-binar menatap kepadaku. Sorot mata yang tajam, setajam saat dia masih muda dahulu.
“Jeng…. Kok sampeyan ada disini? Aku dimana ini jeng” tanyanya. Aku tersenyum senang karena mas satrio terjaga dari mati suri-nya, ia sudah koma selama 3 hari karena terpeleset ketika tracking di kaliurang.
“Iya mas… Mas satrio di rumah sakit. Mas satrio habis jatuh saat dikaliurang kemarin itu” jawabku perlahan, aku pegang tangannya dan kuletakkan diatas dadanya. Terasa olehku hembusan napasnya yang lembut dan tenang.
Mas satrio tersenyum lembut. Kemudian dia berkata “Jeng bisa tolong bantu aku bangun… aku mau ambil air wudhu. Aku mau sholat subuh.”
“mas… mas tidur saja dulu. Aku panggilkan dokter ya.” Aku menahan mas satrio agar tetap berbaring.
“Jangan jeng… tidak usah. Bantu aku untuk bangun saja.” Akhirnya aku turuti kemauannya.
“Liat jeng aku sudah sehat, aku nggak apa-apa. Jeng rastri kok disini sendirian, mana suami jeng rastri?” tanyanya saat kubimbing ia turun dari tempat tidurnya.
“Ada mas, baru saja dia pamit pergi ke mesjid katanya.”
“Sudah jeng, aku kuat berjalan sendiri ke kamar mandi.” Dengan langkah yang tenang seakan-akan tidak menunjukkan kalau mas satrio sedang dalam keadaan sakit parah. Sejenak kemudian mas satrio sudah kembali dari kamar mandi dalam keadaan suci setelah berwudlu.
“Mau sholat dimana mas?” tanyaku sambil memegang sajadah.
“Wes disini wae jeng.” Aku membantu memasangkan sajadah di samping tempat tidur sesuai dengan keinginannya.
“Bismillahirohmanirohim… Allahu akbar…”
Sejenak kemudian mas satrio sudah khusuk menjalankan shalat subuh begitu tenangnya ia, aku menunggu di kursi di dekat jendela. Aku buka gorden jendela, dan tampak olehku sebuah bintang yang berpijar sangat terang. Aku teringat akan bait-bait puisi yang pernah dituliskan mas satrio untukku. Aku masih menyimpannya puisi itu sekarang. Aku tersenyum menatap bintang itu mengingatkan akan cerita-cerita lama antara aku dan mas satrio.
Lamunanku buyar saat aku sadar kenapa mas satrio lama sekali sujudnya, menurutku harusnya sekarang mas satrio sudah tahiyat akhir. Aku berdiri dari kursi dan menghampiri mas satrio yang masih tersujud di sajadah. Sujud yang aku rasa sangat tenang dan khusyuk…
“Mass…” aku beranikan diri menganggu ke khusyukannya.
“Mass…. Mas satrio.” Aku ulangi memanggil namanya.
“Mas…” aku beranikan diri untuk menyentuh tubuhnya dan berusaha membangunkannya.
“Mas…. Masya Allah…. Mas… Innalillahi…” air mataku jatuh berderai tak kuasa aku menahan tangisku yang serta merta pecah. Ternyata mas satrio sudah melakukan perjalanan terakhirnya menghadap Sang Khalik.
Kini aku hanya bisa termenung diteras rumah sakit sardjito ini. Bintang Fajar itu telah pergi, pergi dengan membawa janji setianya. Semua janji-janjinya sudah terpenuhi, aku ingat mas satrio pernah bercerita bahwa dia ingin meninggal dalam keadaan sujud dimana jarak antara mahluk dan Sang Penciptanya sangatlah dekat. Dan dia juga berjanji akan selalu menyisakan ruang dalam hatinya untukku. Semua itu sudah dipenuhinya….

Bintang Fajar

Kala kau terjaga dari tidur malammu
Ketika kau terbangun dari mimpi indahmu
Sempatkanlah sejenak menengok aku
Disisi timur tempatmu berdiri.....
Kala sang fajar masih samar-samar bercahaya.

Aku menunggumu disitu...
Ada salam yang hendak kusampaikan
Dari seseorang yang merindukan cintanya.
Disana akan kau dapati aku yang bersinar terang.

Sadarilah bahwa disaat yang sama
Ada seseorang disisi lain bumi ini
Sedang tersenyum menatapku juga
Menitipkan salamnya buatmu.


Disana kelak dia akan berdiam
Menunggu dan menanti
Kehadiran cintanya yang sejati
.


Itulah puisi yang pernah dia berikan kepadaku dulu. Kini Bintang Fajar itu telah meredup seiring dengan fajar yang makin meninggi. Aku hanya bisa berdoa dan berkata…. Selamat jalan Bintang Fajarku.

[seperti yang akan di ceritakan rasti 29 tahun lagi]

Selasa, 09 Juni 2009

Rencek-rencek Kayu Jati


Mantri darmo ngadek njegrek nyawang kahanan alas jati wana keling kang wus entek mung kari ninggal tunggak-tunggak garing ing kana kene. Kacamata ireng dibukak, banjur dudut sapu tangan saka sak clana werno soklat kanggo ngelapi kringet kang mruntus nelese batuke. Mripate nrocos kembeng-kembeng sajak trenyuh nyawang kahanan alas jati kang biyen dadi tanggungane nalika isih dines dadi jaga wana ing blok XI wana keling. Sepuluh taun kepungkur sak durunge pindah dadi mantri alas ing puncak wangi.
Biyen alas jati kuwi dikebaki dening wit-wit jati kang umure ngancik puluhan nganti atusan taun. Alas kang ketel lan sugih dening sato iwen, kang uga kena kanggo ngadang ilining banyu udan saengga kali ing sak ngisore alas kae ora tau kasatan kaya kang dumadi saiki.
Biyen warga sak kiwa tengene alas, tansah oleh pengayoman saka alas kang aweh hasil bumi lan asil alas kang kena dijagake kanggo cagak kebutuhan saben dinane. Kok ora dadi cagak urip piye? Wong biyen sak durunge alas jati kuwi dibabat entek kaya saiki, saben dinane akeh warga padesan kang pada golek godong jati, golek rencek kayu jati, lan uga diidini dening mandor darmo wektu semana kanggo ngolah lemah sak ngisore wit-wit jati kanti tumpang sari. Biyen warga iso nandur jagung, kacang-kacangan, lan uga pari gaga ing sela-selane wit-wit jati. Ning saiki? Resik…. Kabeh resik…. Lemah-lemah dadi cengkar. Yen awan hawane panas nyelet kulit. Sato iwen kabeh bubar mbuh menyang endi parane.
Kabeh mau merga saka tumindak kang srakah, ora nganggo tatanan, lan mburu kasenengan pribadi sowang-sowang. Aji mumpung kang dadi piandele. Mumpung ana kesempatan, mumpung ora ana sing diwedeni, mumpung hukum adil lagi kelangan jaya kawijayan. Wong-wong kang brangasan, kang kemrungsung dening banda donya banjur lali. Lali marang tatanan urip kang sak mestine disuyudi saben dinane. Wit-wit jati kang dadi cagak alas wana keling di tegori esuk sore awan bengi, gede cilik kabeh di gereti metu saka alas siji baka siji. Blandong kayu kang seneng gumuyu, oleh bati akeh tanpa kudu polah akeh-akeh. Wong-wong kang tumindak culika tanpa wates sajak seneng banget oleh duit sak tumpuk-tumpuk kanti cara yang batil, lan ora ngelingi dina-dina ing tembe mburine.
Saiki lagi dirasakne akibat saka tumindak serakah ing wektu-wektu kepungkur. Kabeh-kabeh sambat, kabeh-kabeh ngresah lan ngresula merga alas wis ora kena dijagake kanggo jagan-jagan kebutuhan saben dinane.
“Biyen nalika alase isih ketel, yen pinuju ana gawe ngene iki awak dhewe gur cukup sangu pethel lan tambang saba nyang alas golek rencek kayu jati. Wes mesti duit 30 ewu kecekel tangan lan sesuk kena kanggo jagong manten.” Sabate sak wenehe pawongan kang lagi padha cangkruk ing gubuk pinggir desa.
“Iyo, biyen biyunge bocah-bocah sok pada golek godong jati. Kena di dol ning pasar lan oleh duit cukup kanggo tuku uyah, trasi, lan teri garing kanggo imbuh-imbuh bumbu pawon.” Saure wong liyane.
Kuwi biyen, biyen lelakon sepuluh tahun kepungkur. Lelakon jaman alas jati wana keling isih ijo royo-royo kanti gegodongan kang ngrembyung ngeyupi warga ing sak kiwa tengene. Durung maneh yen pinuju ana tebangan, sithik akeh warga uga kecipratan rejeki. Mbuh iku minangka kuli angkut apa oleh rencek pang-pang jati kang ora kanggo.
Kasengsaran ora mung dialami dening warga sak kiwa tengene alas, malah kepara-para para pengusaha lan perusahaan mebel lan ukiran uga kena imbas saka pokal gawe kang nasak aturan mau. Coba deleng, wes piro wae pabrik-pabrik mebel kang kukut merga kekurangan bahan baku kanggo gawe kursi, meja, dipan, lemari, lan sak panunggale kang jagake kayu-kayu jati minangka bahan dasare. Yen pabrik-pabrik pada tutup, ateges akeh uga uwong-uwong kang uga kelangan dalan urip. Akibate akeh ekonomi keluarga kang dadi kocar-kacir. Arep golek pakaryan liyane ora kuwawa amarga yo mung saka babakan ngolah kayu kuwi keahlian kang di dhuweni. Bisa wae gawe barang saka kayu-kayu liyane kejaba saka jati, nanging dadine kurang apik lan ora payu didol. Apa ora malah tobat, wes kangelan nyambut gawe, paribasan ilang banda ilang tenaga lan wektu ning hasile mung kesel lan rasa mangkel.
Mantri darmo, jumangkah mudun saka anggone ngadek ing galengan pinggir dalan. Kalenan cilik kang kasatan banyu dilumpati. Ninggalake tapak sepatu boot ing suket-suket garing sak pinggire kalenan. Kacamata irenge dipasang maneh, kanggo ngaling-ngalingi mripate kang sulap dening sorote srengene kang tanpa tedeng aling-aling manasi lemah-lemah cengkar tilas alas jati biyen. Jumangkah tumuju pawongan cacah telu kang katone lagi duduki bonggol-bonggol kayu jati.
“Lho sampeyan kang? Gek ngapa kuwi?” sapane mantri darmo marang pawongan-pawongan kuwi.
“Genah le lagi dangir bongkol jati ngene lho. Wes ngreti dhewe leren tekon.” Sauté salah siji pawongan kanti senggol marang mantri darmo.
Pranyata pawongan kuwi wes diapali banget dening mantri darmo, pawongan-pawongan kuwi biyen tilas komplotan bromocorah alap-alap kayu jati kang tansah ganggu gawe ing blok XI wana keling. Prasasat saben wayah lingsir wengi tansah glibetan ngubengi alas jati golek lenane jaga wana, yen rumangsa aman banjur dag-dog-dag-dog negori wit-wit jati sak karepe dhewe. Saka rumangsane wit-wit jati kuwi warisane mbah buyute, saenggo kanti penak kepenak ditegori.
“Dasar wong ra kena dipek emane, wes bola-bali mlebu bui ora kapok-kapok anggone ngrusak alas. Wong srakah kang ora urus temenan wong-wong iki, biyen negori kayu saiki bareng kayune entek, bonggol-bonggol jati sing ganti dicongkeli.” grenenge mantri darmo ing batin.
“Kang sampeyan nek isih iso tak eman. Sampeyan lerena kang, timbang sampeyan mengko dadi tumbale alas kene. Mumpung isih iso tak elikne, wes mandegka anggonmu pada ngrusak alas.” Tembunge mantri darmo kanti sareh supaya wong-wong kuwi ora kenyonyok atine lan banjur pada emosi. Pamrihe kecekel iwake ning aja nganti butek banyune.
“Mangertiya yo kang, warga sak kiwa tengene alas kene saikine wes padha sadar marang kaluputane kang melu ombaking jaman tanpa mikir dhawa. Warga wes pada sarujuk arep brasta blandong-blandong kayu jati kang wus ngrusak alas. Poma dipoma yen nganti ketemu wong sing ngrusak alas, entenge arep digawe cacat abote arep diuntabake ing alam kelanggengan. Kuwi kang tak rungu dhewe saka warga sing tak pethuki sak durunge aku mrene mau.” Ujare mantri darmo bacutake anggone elik-elik.
“Heh… darmo. Dapurmu ora usah kakean cangkem. Biyen kowe iso uwal saka pucuking kapak iki, nyawamu isih iso nyandet ing ragamu nganti dino iki; merga aku isih dhuwe rasa welas marang bocah bagus kaya kowe kuwi.” Sauté pawongan kang dedeg piadege gede dhuwur, brengos lan brewoke ngetapel ing raine kang abang mangar-mangar kebrongot panase srengene lan ucapane mantri darmo, karo ngadeg lan ngacung-ngacungke kapak kang gigire mingis-mingis.
“Nggih mangga kersa kang, kula mung sak derma ngelikake sampeyan-sampeyan niku. Alas niki sampun boten tanggeljawab kula. Ning ati kula kedodog kangge ngelike merga ngeman marang dika sedaya lan ugi alas jati ingkang sampun rusak kados mekaten.” Saure mantri darmo kanti tatag lan waspada. Jaga-jaga mbok menawa ana kedadeyan kang ora ngepenaki lan ngancam jiwane.
“Wes ora usah kakean cangkem maneh….. nyoh iki kanggo nyumpel lambemu!” pawongan kuwi wes ora iso ngendalekne nafsune, mbabitake kapak ing tangan ngener ing perangan sirahe mantri darmo. Untunge mantri darmo ora ilang ing kapitayan, isih iso ngendani pangamuke pawongan kasebut. Meruhi kahanan kaya mangkono mau, pawongan loro liyane banjur leren anggone njugili lemah banjur ngadek siap-siap arep melu ngroyok mantri darmo.
Lusut saka pangancame kapak kang nyaut sirahe, mantri darmo banjur mundur sak pecak jaga jarak karo wong-wong kang saiki wes pada siyaga ngroyok dhewekne. Kabeh pada nyekel gegaman arupa kapak lan linggis wesi kang siap kanggo ngoncatake nyawane. Kahanan dadi sangsaya ora ngenah, pawongan telu kuwi wes bener-bener kebrongot atine lan mantri darmo amung dhewekan ngadepi wong-wong kuwi tanpa cekelan apa-apa.
Ujug-ujug tanpa dinyana-nyana salah sawijine pawongan kang nyekeli linggis, nlorong ragane mantri darmo nganggo linggis kang sakkawit di cekeli. Mantri darmo kaget lan mlumpat ngiwa, eman anggone ngendani kurang trengginas saengga lengene isih kesrempet pucuk linggis lan tiba klumah. Klambine suwek lan getih seger mili dlewer ing lengene.
“Wes kowe saiki arep bangga piye maneh mo.. darmo. Dino iki sido tak pungkasi nyawamu.” Serune lantak wong gede dhuwur mau, karo jumangkah nyedaki mantri darmo kang kelaran, ngeses-ngeses, karo nyekeli lengene kang gudras getih.
Kanti mripat kang murub lan praupan abang, persis kaya ajag kang siap nyatek mangsane. Pawongan kuwi ngangkat kapake dhuwur-dhuwur arep dianggo bacok sirahe mantri darmo. Mantri darmo anane mung merem dipet karo donga marang Gusti Allah muga-muga padang dalane, yen pranyata pancen dino kuwi lan detik kuwi nyawane kudu dipungkasi.
“Nika pak…. Nika pak… tiyange sami teng ngrika.” Durung nganti ketekan anggone mbabitake kapake kesusu tekane warga desa kang gemrudug nglarag pawongan telu kasebut. Wurung anggone mateni mantri darmo, wong-wong kasebut pilih mlayu ngendani warga kang cacahe puluhan mau. Warga terus bujung playune pawongan telu kasebut ing ngendi wae parane. Merga saking bingung lan wedine, pawongan kang dadi tetuwane gromblolan alap-alap kayu jati kasebut, kesrimpet recek kayu jati kang malang ngadangi dalan playune, batuke pecah ditampani dening tunggak jati ing sakngarepe. Nyawane oncat rasa ragane saknalika iku uga, sido dadi tumbale alas jati wana keling.
Sauntara iku ing sisih liya panggonan, katon simbah-simbah sepuh kang lagi mlaku ngliwati dalan sak pecak karo ngendong rencek-rencek kayu jati karo ngidung layung-layung. Kidung kang gawe getering ati kang ngrungokne. Wes puluhan taun anggone seneng golek rencek kayu jati, wiwit jaman isih prawan mula saben dinane golek rencek kayu jati ing alas wana keling. Ning saiki rencek-rencek kuwi ora kaya biyen maneh. Rencek-rencek kuwi mung kari rencek-rencek jati kang mung kena diugemi ning ora kena diopeni.

Selasa, 24 Februari 2009

Jalan Yang Berbeda

Tadi pagi bapak datang dari desa. Senang rasanya bisa berjumpa lagi dengan bapak. Rasa kangen yang begitu lama terpedam pagi itu terbayar sudah. Hatiku rasanya sejuk sekali, seakan tanah gersang yang tersiram air hujan semalaman.
Lama tidak berjumpa dengan-nya, aku lihat bapak sudah semakin tua. Rambutnya kini semakin dipenuhi dengan warna putih dan hampir-hampir semuanya sudah menjadi uban, wajahnya semakin keriput meski sekarang lebih sumringah cahayanya. Wajar saja... sebab kini anak-anaknya sudah bisa mandiri. Sudah tidak menjadi beban kehidupannya.
Dulu kami tinggal disebuah dusun kecil dilereng bukit, di daerah paling ujung selatan kota yogyakarta, atau lebih tepatnya Gunungkidul. Tidak perlu aku ceritakan panjang lebar tentang kondisi alam desa tempat kami tinggal dahulu dan orangtua kami sekarang. Semua juga sudah tahu, bagaimana gersang dan tandusnya dusun kami. Dan betapa sulitnya kami mencari sumber air bila musim kemarau tiba. Bahkan tak jarang kami harus berbagi air telaga yang keruh dengan ternak piaraan kami.
Adzan subuh baru saja berlalu setengah jam yang lalu, ketika aku mendengar pintu rumahku ada yang mengetuknya. Ketika itu aku pun masih belum beranjak dari atas sajadah yang baru saja aku gunakan untuk alas shalat subuh. Aku terpaksa menghentikan sejenak tadarusku, untuk memastikan bahwa benar ada yang mengetuk pintu.
”tok... tok.... tok. Assalamualaikum” terdengar suara pintu diketuk dan diikuti oleh salam dari suara yang rasa-rasanya sudah amat aku kenal dan sangat aku rindukan.
”Bapak. Yah.. rasanya itu suara bapak.” gumamku dalam hati sambil bergegas menuju pintu depan.
”Waalaikumsalam.” sahutku ketika sudah memasuki ruang tamu.
Sejurus kemudian pintu telah terbuka, dan aku dapati seorang tua renta. Dengan sweater lusuh dan bawaan yang banyak, mengumbar senyuman dibawah terangnya lampu teras rumahku. Aku tak kuasa menahan emosi, kerinduanku yang teramat sangat dalam kepadanya. Dengan serta merta aku memeluknya dan menitikan air mata dipundak rentanya. Pundak yang tiga puluh tahun silam menjadi tempat aku bergelayutan, bermanja-manjaan bersama ke dua adikku.
Aku terlarut dalam kebahagian yang tak terkirakan dan aku masih memeluk erat bapak, ketika istriku tiba-tiba sudah berdiri dibelakangku tanpa aku sadari.
”Oh.. ada tamu ya mas.” sapa istriku.
”Eh.. iya.. iya dik. Ini Bapak. Bapakku dik” aku melepas pelukan dan menyeka titik-titik air mata yang membasahi kelopak mataku.
”Meniko semah kula Pak.” aku memperkenalkan istriku kepada Bapak.
”Wah... wah.. kowe pancen anak lanang tenan le.” ucap bapak sambil tertawa.
Aku hanya tersipu dan merasa tersanjung dengan sindiran bapak yang menaruh kebanggan berlebihan kepadaku.
”Mari masuk Pak” istriku mempersilahkan bapak untuk segera masuk ke dalam rumah. Aku mengambil barang bawaan bapak dan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Kami berdua kemudian duduk berhadapan di meja makan ruang tengah, sementara istriku ke dapur membuatkan minuman untuk kami.
”Bapak biasanya minum kopi dik” aku memberikan informasi ke istriku setengah berteriak, istriku tidak menjawabnya. Dan memang aku tidak memerlukan jawaban darinya.
”Bapak, kula nyuwun ngapunten dereng saged wangsul sak sampunipun saking Menado.” aku memulai pembicaraan. Ya rasanya aku sangat pantas meminta maaf kepada kedua orang tuaku, yang pada saat pernikahanku tidak bisa hadir. Pada saat itu ibu sedang sakit dan rasanya sangat berat untuk melakukan perjalanan jauh ke ujung utara pulau Sulawesi. Peristiwa yang tak kalah mengharukannya waktu itu karena aku harus memulai babak baru dalam hidupku tanpa disaksikan secara langsung oleh kedua orang yang telah sangat berjasa dalam kehidupanku.
”Wes... le ora dadi apa. Kabeh ngono pancen wes ana sing ngatur. Sing penting awakmu slamet lan tansah pinaringan rahayu saka Gusti Allah.” jawaban bapak yang begitu bijak dan menenangkan hatiku setelah sekian lama dipenuhi perasaan berdosa dan bersalah.
”Le.. bapak iki mau durung kober sholat subuh. Mumpung durung byar... bapak arep sholat dhisik yo.” sambung bapak kemudian meminta waktu untuk melaksanakan sholat subuh, sebab tadi sesampainya di agen bis belum sempat sholat.
”Oh.. inggih... inggih Pak. Mangga wonten kamar ngajeng kemawon.” aku bangkit berdiri dan berjalan mendahului Bapak untuk menunjukkan kamar yang aku maksudkan. Sekalian aku bawa barang-barang bapak untuk disimpan di kamar itu.
”Sing kerdus kuwi tinggalen kene wae le. Kuwi titipane simbokmu, mbuh isine mbuh apa.” bapak memintaku untuk tidak usah mengangkut kerdus warna coklat yang diikat dengan tali plastik warna hitam. Aku pun menuruti kemauannya, dan memang rasanya tidak perlu aku membawa serta kerdus tersebut ke kamar.
”Menika kamaripun Pak. Menawi ajeng wonten wingking, ngagem kamar mandi ikang niku mawon.” aku memberitahukan tempat-tempat yang sekiranya diperlukan oleh bapak sambil menunjuk kamar mandi yang ada di samping kamar tamu.
Meskipun rumahku tidaklah terbilang besar, akan tetapi sengaja ku persiapkan beberapa tempat khusus untuk menginap tamu atau sanak saudara yang kebetulan berkunjung.
”Dik, ini lho dikirimi oleh-oleh sama ibu.” aku membawa kerdus yang tadi aku letakkan diatas meja.
”Apa ini mas?” tanya istriku sambil membuka kerdus yang aku berikan.
”Mungkin kripik pisang raja dan singkong. Itu kletisan kesukaanku” jawabku sambil membantu mengeluarkan isi kardus. Beberapa saat lamanya aku berada didapur bersama istriku, dan tiba-tiba aku teringat sesuatu yang biasanya kami lakukan berdua, shalat berjamaah. Kebetulan tadi aku lihat istriku begitu lelap tidurnya sehingga aku memutuskan untuk tidak membangunkannya. Teringat akan hal itu aku lantas bertanya kepadanya ”Eh... sampeyan sudah sholat subuh belum?”
”Ya sudah mas...” jawabnya sambil tersenyum manis.
”Pinter... ” aku menggodanya sambil menyium keningnya. ”Adik memang istri yang paling cuantikk sedunia” sekali lagi aku cium keningnya dan kemudian aku kembali ke ruang tengah.
Bapak sudah menunggu disitu. Duduk menunggu aku sambil memutarkan padangannya ke beberapa sudut ruangan.
”Mangga dipun unjuk kopinipun Pak” aku duduk dikursi sebelahnya sambil mempersilahkannya untuk meminum kopi yang disediakan oleh istriku.
”Iyoo le. Iki mau wes tak icipi.” jawabnya.
”Kuwi photo ngantenanmu yo le” tanyanya sambil melihat ke bingkai foto yang terpasang di dinding. Foto pernikahanku waktu di Manado.
”Inggih Pak.” jawabku singkat sambil menatap kearahnya. Nampak olehku tatapan nanarnya yang seakan menyimpan sesuatu keharuan, kebahagian dan juga kesedihan sekaligus. Semuanya tersirat jelas dari sorot mata tuanya yang redup dan berusaha disembunyikannya.
”Dos pundi kabaripun emak kaliyan adik-adik wonten dusun Pak?” aku memecahkan keheningan suasana yang sejenak melingkupi kami berdua sambil aku nikmati kopi pahit kesukaanku.
”Simbokmu, wes luwih sehat saikine. Lha yo kuwi terus malah reka-reka gawe kripik barang nalika tak kandani yen aku arep tilik kowe, le” bapak memulai cerita kondisi emak.
”Wah nggih syukur alhamdulillah menawi ngoten.” aku tersenyum bahagai mendengarnya.
”Iyo, ning yo tak penging nandangi gawean akeh-akeh. Wingi kuwi olehe gawe yo direwangi karo likmu kartijah. Lha piye to le, simbokmu kuwi yen kekeselen kuwi banjur kumat larane. Sambate jarene dadane ampeg lan watuke banjur ngono kae. Mula saka kuwi tak penging nyambut gawe sing abot-abot.” bapak melengkapi ceritanya.
”Sardi lak nggih taksih nyambut damel wonten solo nggih Pak. Kados pundi kabaripun?”
”Trus kartinah nika teng mojokerto kados pundi kabaripun, sampun setunggal tahun punika boten nate kirim-kirim kabar kaliyan adik-adik.” aku menanyakan kabar adik-adikku yang sudah hampir setahun terakhir ini tidak pernah bertemu dan berkirim kabar. Mungkin bisa dimaklumi karena aku sekarang tinggal di palembang dan bekerja di sebuah perusahaan perkebunan yang sangat jarang-jarang berada dirumah, aku lebih sering berada dilapangan berhari-hari bahkan kadang sampai sebulan baru pulang ke rumah. Bahkan setelah menikah dua bulan yang lalu pun aku belum sempat pulang ke kampung halamanku untuk mengenalkan istriku kepada kedua orang-tuaku.
”Sardi lan Kartinah yo apik-apik wae le.Ning yo ngana kae....” Bapak menyampaikan kabar adik-adikku. Akan tetapi ada sesuatu yang menggantung, yang seakan-akan bapak enggan untuk berbagi. Aku merasa wajib untuk mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan mereka, aku beranggapan adalah hal yang wajar untuk aku pertanyakan, dalam benakku siapa tahu aku bisa membantu mengatasi sesuatu yang mungkin saja menjadi beban bagi orang tuaku. Wajar... ya wajar.. karena aku adalah anak sulung-nya.
”Kados pundi Pak?” aku mencoba menarik bapak kearah pembicaraan yang lebih detil tentang adik-adikku.
”Yo ngana kae le, sardi kuwi bocah sing watake pancen ngana kae. Anggel nekuk atine. Sembarang ki gugu karepe dhewe.” Bapak berhenti sejenak untuk menikmati kue yang disuguhkan oleh istriku. Setelah diselingi dengan meminum kopi yang masih tersisa setengah cangkir lebih, bapak melanjutkan ceritanya.
”Aku bingung anggonku arep nuturi sardi. Bocah nyambut gawe nyah mana nyah mene kok ora cemantel. Senengane kuwi yen bali ubyang-ubyung karo bangsane karmidi, sujak, lan tukin. Yen wes ngana kae trus banjur pada ngombe, rokokkan lan jagongan nganti parak esuk. Duit bayarane prasasat entek gur kanggo nraktir cah-cah kae.” aku mendengarkan cerita bapak sambil menerawang mengingat kembali keadaan disana, mereka-reka bayangan kira-kira seperti apa ketika sardi menraktir teman-temannya. Yang hal itu hampir pasti dilakukan rutin setiap bulan ketika pulang ke Gunungkidul. Terbayang olehku sardi berlaga bagaikan seorang bos besar yang membayar semua kebutuhan pesta anak buahnya.
”Lha yen wayahe balik menyang solo, mesti ngrusuhi simbokne. Njaluki duit kanggo sangu. Yen disauri ora dhuwe, njur ditakoni bayaranane dhewe ning endi. Mesti banjur nesu. Lunga ora pamitan.” Bapak menjelaskan lebih panjang lebar mengenai kebiasan Sardi, sambil menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir kopi dihadapannya.
”Sruppp...” diselingi dengan hirupan kopi yang mulai dingin bapak melanjutkan ceritanya.
”Ning yo ora dadi apa. Pancene bocah ki dhuwe tabiat dhewe-dhewe.” lanjutnya memaklumi tabiat anaknya.
”Kartinah kae saiki ning kediri melu bojone, anake lanang siji kae saikine wes esde kelas siji. Mbuh jare bojone saiki lali ora cekel gawean, perusahaan nggone nyambut gawe kukut kena krisis moniter.” bapak melanjutkan ceritanya tentang keadaan Kartinah, adik bungsuku, yang sekarang tinggal di Kediri. Suaminya sudah tidak bekerja karena perusahaan tempatnya bekerja sedang bangkrut terkena imbas krisis monoter.
”Nggih mugi-mugi sami sehat lan diparingi sabar nggih Pak.” aku mencoba menghibur Bapak dengan mendoakan adik-adikku semuanya.
”Iyoo le... ” jawab bapak singkat.
----xxx---
”Deng... dong.. deng... dong...” jam bandul ukiran khas jepara berbunyi nyaring dari sudut ruangan. Seakan memanggil aku untuk memperhatikannya sejenak, mencari-cari perhatian dari kami berdua yang tengah asyik berbincang-bincang. Jarum jam yang berwarna kuning keemasan menunjuk ke angka tujuh dan dua belas, wah.. tanpa terasa sudah dua jam lebih kami berbincang-bincang.
”Wes jam pitu le, apa ora budal nyambut gawe?” bapak bertanya sembari mengingatkan aku untuk berangkat bekerja.
”Inggih Pak, dinten menika wonten janji kaliyan suplier wonten kantor pusat. Kula bade siyap-siyap rumiyin nggih Pak” aku beranjak dari kursi sambil meminta ijin untuk pergi mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor.
”Yo kana gek cekat-ceket wes awan.” saut bapak sambil beranjak juga dari tempatnya duduk dan berjalan ke teras rumah. Mungkin ingin menikmati suasana pagi hari di kota Palembang ini.
Usai mandi dan berganti baju kerja, aku hampiri bapak yang sedang duduk di kursi di teras depan rumah sambil menikmati rokok sigaret kegemarannya. Harum khas tembakau yang terbakar mengingatkanku pada kebiasaan bapak di desa. Yang gemar sekali menghisap sigaretnya sambil memberi makan ayam-ayam piaraannya di kandang belakang rumah.
”Mangga Pak, dahar sarapan rumiyin” sapaku sambil mengajaknya untuk sarapan pagi bersama-sama.
”Wes kana, sarapana dhisik. Aku mengko-mengko wae.” bapak memalingkan wajahnya ke arahku sambil memerintahkan aku untuk sarapan sendiri, karena beliau belum berminat untuk sarapan.
Aku pun bergegas ke ruang makan untuk sarapan, dan tanpa perlu memaksa bapak untuk sarapan pagi bersama. Aku sudah hapal betul dengan kebiasaan bapak yang tidak senang dipaksa untuk melakukan sesuatu, sebelum beliau menginginkannya sendiri. Dan lagi pula aku tidak ingin menganggu keasyikannya dalam menikmati sigaret. Apalagi sangat kebetulan sekali di halaman depan rumah ada dua ekor ayam hutan di dalam sangkar yang tak henti-hentinya berkokok dengan suaranya yang khas itu.
Selesai sarapan, aku mengeluarkan Toyota Land Cruiser yang dipinjamkan kepadaku untuk memudahkan aku melakukan tugas pekerjaan sehari-hari. Mobil aku parkir di car port, aku turun dari kendaraan dan kubiarkan mesinnya tetap menyala. Kuhampiri bapak yang masih terlihat asyik di teras rumah.
”Kula kesah rumiyin nggih Pak.” Kuulurkan tanganku untuk berpamitan kepadanya.
”Iyo.. le. Sing ati-ati ning dalan” ucapnya meminta aku untuk berhati-hati dijalan.
Kemudian aku hampiri istriku yang cantik dan berpamitan kepadanya ”Aku pergi dulu ya sayang.” tak lupa sambil mencium keningnya.
Aku bergegas kembali masuk ke mobil, perlahan-lahan aku meninggalkan halaman rumah. Dan bergabung dengan sibuknya lalu lalang kendaraan di jalan raya kota Palembang. Jarak dari rumah ke kantor cukup lumayan, kira-kira memerlukan waktu hampir satu jam perjalanan. Maklum namanya juga perusahaan perkebunan, meskipun namanya kantor pusat; tetap saja lokasinya jauh dipinggiran kota.
Sepanjang perjalanan aku kembali teringat akan adik-adikku, perjalanan nasib yang membawa kami ke jalur yang berbeda-beda. Aneh memang rasanya, padahal kami lahir dari benih yang sama, tumbuh dari rahim yang sama, tetapi tumbuhnya membawa nasib sendiri-sendiri. Itulah kenyataan hidup yang kadang keluar dari logika manusia yang sangat terbatas ini.
”hmm benar juga pepapatah orang jawa dulu. Endog sak petarangan netese beda-beda” gumamku teringat pelajaran dari guru bahasa jawaku dulu di es-de.
”Endog sak-petarangan netese beda-beda” - Telur dalam satu sarang menetaskan anak ayam yang berbeda-beda warna bulunya, begitu juga gambaran hidup manusia. ~~QAP~~

Senin, 23 Februari 2009

BONTOTAN

Yu sagiyem gek ibut ning pawone, isuk umun-umun wes ribut dedek geni kanggo adang sega lan nggodog banyu wedang kanggo gawekne kopi sing lanang. Beras sak-gelas cilik di sok ning njero dunak cilik, banjur digawa memburi sakperlu dipesusi. Krusek-krusek….. keprunggu swarane beras kang diubek ning njero dunak bebarengan karo miline banyu leri ing peceren.
Bubar mesusi, dunak diseleng ning ngisor rak piring saka kayu kang rupane wes ireng-ireng dening langes obongan kayu pawon. Klitik-klitik, yu sagiyem katon ngracik wedang kopi ing gelas cilik kang wis rada gripis lambene. Stoples cilik wadah gula di koreti nganggo sendok aluminium, banjur diwor karo kopi ing jero gelas. Sakbanjure nyandak gombal amoh kang rupa lan bentuke wes ora karu-karuan, kanggo ngangkat ceret werna ireng saka dhuwur pawon. Ceret ireng dudu merga saka bahan Teflon, nanging ireng merga kepangan mawa lan langes obongan kayu saka pawon, ngono wae wes rada peyok-peyok lan gantolane wes ditaleni kawat dening Kang turijo bojone yu sagiyem, amrih ora bodol nalika diangkat.
Krucuk krucuk krucuk…. Wedang panas disuntak alon-alon ning jero gelas. Pega tipis-tipis metu saka gelas karo nyangking wangine ganda kopi kang ngunggah turune sing lanang. Sisa banyu ing ceret banjur di sok ing jero termos werna abang kang kembang-kembange wes ketutup dening teyeng. Rampung anggone nyuntak banyu, termos banjur ditutup nganggo uwel-uwelan plastik kang diganjel ketokan kayu jambu.
“Kang… iki lho wedange. Tangi Kang; wong sing subuhan wes pada mudun kae lho” celuke yu sagiyem marang bojone.
“Hmm…. Yooo” saure kang turijo saka senthong kang mung keletan gedheg sak lembar karo pawon panggonane ruang kerjane yu sagiyem .
Kang turijo klunuh-klunuh bukak mili tutup senthong, karo kalungan sarung kotak-kotak kang wus blawus banjur raup ing padasan ning buri omahe. Rampung anggone raup terus mlebu pawon lan lungguh ing dingklik dhawa, karo ngliling wedang kopi panas kang isih kemebul ing lepek kramik tinggalane wong tuwane, barang warisan critane.
“srruttttttttttttttt…………. Ahhh…..” suarane kang turijo nyruput wedang saka lepek katon nikmat banget, karo nyaut pacitan godogkan tela pohong turahan wingi bengi.
“Sido nyang kecamatan ora kang saiki” yu saginem takon marang bojone karo ibut ngudek kendil isi godogkan beras amrih ora gosong.
“Hayoo sido wes kadung nyaguhi je. Mengko yen ora mara pak camat mesti duka, lha yen nganti duka aku bakal kelangan dalan rejeki” saure kang turijo karo isih nyomak-nyamuk mangan telo.
“Thole pa isih turu?” sambunge kang turijo nakoke anake lanang sing gek kelas telu esde, karo neruske anggone nyruput wedang kopi.
“Isih” saure yu sagiyem. “Sampeyan arep budal jam piro iki mengko kang?” sambunge.
“Hayoo bubar iki, aku tak adus gek ndang mangkat” sing lanang nyauri karo ngenteke sisa kopi ning cangkire. Banjur mudun saka dhuwur dingkling, nyaut anduk ning tali sampiran cedak karo lawang butulan pawon. Anduk disampirake nyang pundake trus mlaku metu.
“Sabune mbok deleh endi yem?” kepungru suarane kang turijo saka mburi omah.
“Ning dhuwur tumpukan kayu kuwi lho kang.”
“Ndeleh… sabun wae di lah-leh, marahi kangelan goleki wae” sing lanang grememeng semu maido.
Ember cilik werna biru isi sabun lux, sikat untu sing wes njeprak wulune, lan odol kang wis ora ana tutupe maneh dicangking karo mlaku menyang belik ing kali buri omahe. Ngliwati kebon kopi lan jeruk titipane Pak camat, kang wektu kuwi lagi mribik-mribik kembang lan metu pentile cilik-cilik. Arume kembang cengkeh nambahi segere suasana isuk kuwi. Embun katon isih pating tlecek nelesi gegodongan ing sakiwa tengene dalan tumuju kali. Ketambahan pangocehing manuk podang ing wit randu alas kang tukul dhuwur jrebabah ing pojokan tegal sisih kidul, njalari swasana isuk kuwi sansaya tambah asri lan iso gawe ayeming ati.
Nanging ora kanggone kang turijo. Kang kaya mangkono mau kejaba saka saking wes kulinane nemahi ing saben dinane uga kagawa saka panguripane kang saka rumangsane tansah nandang lara lapa kawit bayi lair ceprot ing alam donya iki. Panguripane tansah kecingkrangan lan durung tau sepisan wae necep manise madu panguripan kaya wong-wong liyane ngana kae. Paling banter madune panguripan kuwi tau dirasakane nalika ing jero sentong karo yu sagiyem pas langen asmara. Ngono wae saiki isih kudu pinter-pinter ngatur siasat, supaya ora diweruhi dening anake. Lha piye omah yo sentonge gur siji, kathik anake saikine yo wes gedhe, wes umur sangang taun. Apa yo tegel lan ora wirang yen nganti kadenangan dening anake nalika lagi krusak-krusek wong loro. Mengko nek ujug-ujug anake lanang tangi; banjur tekon sing ora-ora,lha njuk kepiye olehe nyauri. “Pak lan mak gek nyang opo? Kok krusak-krusek gak klamben?”. Hara to yaa…. Blaik tenan!!!

Bubar adus ing belik ngisor wit jrakah, kang turijo banjur mulih karo nyangking ember isi banyu kanggo pasediyan ing ngomah. Kaya padate wong-wong ing desa kana, saben nyang belik mesisan karo nyangking bayu supaya ora kudu bola-bali nyang kali yen pinuju perlu banyu sithik-sithik. Tekan ngomah, anduk disampirke ning tali pemehan wetan omahe. Terus klunuh-klunuh mlebu ngomah liwat lawang pawon bablas nuju sentong lang salin penganggo. Bojone katon lagi ibut nata sega lan lawuh ing dhuwur amben cilik saka galaran pring kang dilambari klasa pandan amoh. Sega lan lawuhe di lebok-lebokne ing njero rantang seng werna putih, banjur dibungkus nganggo serbet motif kotak-kotak kaya sorban kang biyasane dienggo kalungan Pak modin. Rampung nata bontotane sing lanang, banjur ngliling kopi saka gelas menyang gendul tilas wadah setrup anggone maringi Pak camat nalika riyaya taun kepungkur. Bontotan lan gendul banjur digawa mengarep nyang teras omahe. Kang turijo katon lagi ibut ngelapi pit onthel phoenix weton taun wolong puluhan werna biru ing latar ngisor wit talok.
“Kang, iki lho sangune sampeyan.” Ujare yu sagiyem karo nyeleh barang cangkingane ing dhuwur kursi kayu.
“Weh… ha kok ndadak disangoni barang yem.. yem… biasane yen nyang nggone Pak camat ki diparingi mangan lho yem” kang turijo nyauti karo isih ibut ngelapi pelek sepedah. Jan yen karo tunggangane siji kuwi kang turijo ora kalah anggone ngrumati lan ngreksa karo penggemar moge (motor gede), tugangane para pejabat lan selebritis saka Jakarta kae. Senajana pit onthel ning tansah dirukti kanthi gemati. Jarene sembarang dengah ki yen dirumat kanthi becik bakal awet. Lan yo pancen nyata falsafahe kang turijo kasebut, nyatane wes seprana seprene sepedah phoenix-ke mung sepisan mlebu bengkel, kuwi wae pinuju sepedahe di sruduk becak nalika ngeterke yu sagiyem nyang pasar kecamatan telung taun kepungkur. Nek perkara ganti ban, nambal ban, apa nyambung rantene sing pedhot; kang turijo temah di tandangi dhewe wae. Sakliyane ngirit ongkos uga hasile maremake ati jarene.
“Yo ora kaya ngono kuwi Kang. Senajan biasane disogati, awak dhewe ki ya aja njur terus seneng jagagke pawewehing liyan Kang. Jare sing kaya ngono kuwi kurang becik lan prasaja. Jagagke ndogke blorok yen ngono kuwi jenenge” yu sagiyem maido sing lanang.
“he he…. Iyo bener kandhamu yem” ujare kang turijo karo mesem marani sing wedok. Bototan dicandak banjur diambu.
“wah ambune kok sedep tenan iki yem. Masak apa iki mau?” sambunge
“Sampeyan tak masakke radha sepesial kang. Dadar endog, oseng-oseng genjer karo tempe, sambel trasi lan lalapan pete karemanmu kang.”
“Jare bu RT ing kumpulan PKK minggu wingi kae, sepisan-pisan kuwi perlu masak kang rada istimewa kanggo bojone. Mau tak jupukne endog pitik saka petarangan, tak jupuk loro siji kanggo sampeyan, sing siji maneh kanggo sarapan thole mengko.” Tembunge yu sagiyem. Yu sagiyem senajana wong ndeso klutuk, ning prigel nandangi gawean padinan ing bale somah. Tur yo segrep melu kumpulan PKK ing RT, ora tau gothang anggone nekani kumpulan. Kanthi mengkono yu sagiyem dadi luwih dhuweni wawasan kanggo sangu nglabuhi anak lan bojone.
“Yo wes.. yem aku tak budhal saiki. Selak kawanen, mengko nek Pak camat selak tindak kantor.” Tembunge kang turijo.
Bototan di cantolke ning stang sepedah sisih kiwa, sepedah banjur dituntun alon-alon ngliwati lurung sak pecak antarane kebonan tumuju dalan desa kang dadi dalan tembusan menyang dalan gede, yu sagiyem ngetutke ing burine. Tekan pinggir dalan, kang turijo banjur nyengklang sepedahe lan lon-lon wiwit ngontel. Ora lali pamitan marang bojone, “wes mangkat dhisik. Sing ati-ati yo ning omah.”
“Iyo kang, sampeyan yo sing ati-ati ning dalan.” Yu sagiyem nyawang lungane sing lanang kanti rasa kang beda dina kuwi. Panyawange kandeg nalika sing lanang lan sepedah onthele ilang diuntal dening enggok-enggokan ing kebonane pak dhe nardi kang kebak dening wit-witan gede. Yu sagiyem banjur balik menyang ngomahe, kelingan anake lanang sing isih turu mlungker ndek kamar.
ooooooooooooooooooo

“Arep nyang endi jo?” panyapane lik samino nalika pethukan ing lurungan cedak sawah gedhe.
“Nyang daleme Pak camat, lik. Mangga lik nderek langkung niki” jawabe kang turijo.
“Yo… sing ati-ati yo. Andum slamet wae.” Saure karo bacutke anggone macul sawah.
“Nggih…..” kang turijo balesi karo mesem.

Bototan ing stang sepedah kepental-pental mengarep-memburi. Kantrok-kantrok merga dalanan kang isih mawujud lemah lan watu krakal. Mokal yen dalanan kang diliwati kuwi bakal kambon aspal. Wes genah yen ora bakal, wong dalanan kuwi ora ngadut nilai komersial lan ekonomis. Dalanan kang mung kanggo dalan kebo lan sapi nuju sawah, yen udan bletok lan ora kendat saka tlepong kebo lan sapi kang pating petutuk kaya bubure kanjeng nabi sulaiman, ing dongeng-dongeng kancil nyolong timun kae. Beda karo dalanan sing nembus ing sumur-sumur lenga gas ngana kae, dalane mulus…. Nglenyerrrr…. Sing wes genah yen bakal nguntungake juragan-juragan lenga lan para juragan-juragan sing wenang ngurusi negara.

Kang turijo ngenggokake stang sepedah menyang pelataran jembar kang kiwa tengene di kebaki dening tanduran cengkeh lan sak wernaning kembang lan pasuketan kang ijo royo-royo. Mudun saka sepeda kang turijo banjur ngirit sepedahe menyang plataran sak wetane pendapa omah joglo saka kayu jati tuwa kang gadeg gede ngemu wibawa. Yo pantes wae, wong daleme Pak camat. Dalem kang wus run temurun saka para leluhure Pak camat, lan ora mokal yen isih mambu sawabe para leluhur mau.
‘Ee… wong ki nek tedak turune wong drajat lan pangkat ki, nganti sak anak putune yo isih ketiban wahyu dadi wong kang mulya uripe. ‘ pangrasane kang turijo ing jero batin nalika nuntun sepeda.
‘Yo wes ben, uwong kuwi kajibahan kuwajiban dhewe-dhewe dening Kang Kagungan Kersa’ pambantahe kang turijo ing jero atine dhewe.
Sak wuse nyendekake sepedah ing ngisor wit sawo kecik ing wetan pendapa, kang turijo banjur mlaku tumuju ing omah sak mburine pendapa.
“Kula nuwun” kang turijo uluk salam.
“Mangga, sinten nggih?” keprungu swara priyayi estri saka njero omah. Sajake bu camat kang nyauri, ketoro saka swarane sing ulem lan semanak.
“Dalem bu ingkang sowan, turijo.” Saure cekak.
“O.. sampeyan tho jo. Kene-kene mlebu jo” Katon bu camat ngacari dayohe karo bukake lawang.
“Nggih bu sampun mriki mawon” kang turijo nyopot topine karo lungguh ing kursi teras.
“Iki mau wes dienteni karo Bapak, meh wae ditinggal tindak. Wong selak arep ana rapat ing kabupaten” saure bu camat.
“Wah, nggih nyuwun sewu bu. Niki wau radi kerinan angsalipun tilem.” Kang turijo gupuh anggone matur merga rumangsa kleru, kuwatir yen nganti gawe gela atine Pak camat.
“Wes ora dadi apa jo, wong Bapake yo durung kebanjur tindak kok. Sek yo entenana sedela, tak ngaturi Bapake dhisik.” Bu camat mesem karo mlebu nyang ngomah sak perlu ngandani Pak camat. Kang turijo ngenteni karo deleng kucing kang lagi nyusoni anake cacah papat ing emperan omah. Kucing ules kembang telon karo anake papat katon resik-resik lan lemu-lemu. Ngetokake banget yen kucing pomahan lan kerumat kanti becik. Mbok menawa wae menu pakanane luwih bergizi tinimbang lawuh bontotane kang turijo esuk kuwi.
Ora sakwetara suwe, Pak camat wes metu saka jero omah. Wes ngganggo seragam coklat-coklat lan sepatunan ireng meling-meling. Kang turijo banjur gadeg lan ngulukake tangane, salaman karo Pak camat.
“Kok nganti yah mene gek tekan mrene jo.” Pak camat nampani tangane kang turijo terus mapan lungguh ing kursi sisih tengene turijo. “lungguh jo” prentahe marang turijo.
“Inggih. Nyadong duka Pak, niki wau radi kerinan anggen kula tilem” kang turijo mapan lungguh ing kursine sakkawit karo mesam-mesem.
“Yo wes ora apa-apa jo. Anak bojomu rak yo slamet kabeh jo” pandangune Pak camat.
“Pangestunipun.” Saure kang turijo.
“Ngene jo, pager kebonan sisih buri lan kulon omah kae wes gapuk kabeh. Tulung resiki lan tatanen sing apik yo. Trus suket-suket ing kebonane kae sampeyan babati sisan ben padang. Nek rampung sedino yo sokur, nek ora yo dienyangi sesuk maneh. Sing penting kaya biasane wae jo, sing resik yo.” Pak camat menehi prentah apa-apa kang kudu ditindake dening turijo kanti singkat lan jelas.
“Nggih Pak” kang turijo nyauri cekak. Sajak wes ngerti banget karo kersane Pak camat.
“Yo wes, ngana wae jo. Aku selak arep mangkat nyang kabupaten.” ature Pak camat karo grumegah saka kursi, merga mobil dinase wes parkir ing gang-gangan antarane pendapa lan daleme. Pak camat mlebu kendaraan, lan tleser-tleser kijang werna ireng kuwi mlaku ninggalake turijo kang gadeg nguntapake lungane Pak camat. Kang turijo banjur cak-cek salin penganggo lan tumuju ing kebonan buri omah karo nyangking arit lan pacul.
ooooooooooooooooooo

Kumandang adzan lohor saka mesjid keprungu lamat-lamat. Kang turijo banjur leren olehe ngresiki pager, kringete pating dlewer nelesi rail an gegere. Klunuh-klunuh menyang sumur, muter kran banjur wisuh lan raup banyu karo banyu nyang mancur saka kran. Sikile dikosok-kosokake jobin supaya lendut sing nempel gogrok lan resik. Bubar wisuh banjur menyang panggonan nyendekake sepedah ing ngisor wit sawo kecik. Buntelan bontotan di jupuk banjur di cangking menyang emperan omah sisih wetan.
Bontotan didudah, rantang isi lawuh dibukak lan diseleh jobin. Rantang isi sega disangga nganggo tangan kiwa, nyuil endog dadar lan dulit sambel trasi di tumpangke sega ing jero rantang. Tangan tengen wes siyap-siyap muluk sega arep diemplok. Cangkep wes kadung mangap.
“Jo.. jo..” kepungru swara undang-undang jenenge saka jero omah. Bu camat sajake sing celuk-celuk.
Wurung anggone muluk sega, selak nyauri pangundange bu camat.
“Dalem bu” saure sora.
“Rene jo, nyang pawon buri jo.” Bu camat awe-awe saka lawang pawon sisih wetan.
Kang turijo banjur nyelehake rantang isi sega, lan kesusu menyang dapur. Kuwatir yen bu camat ana perlu sing wigati kang butuh tenagane sedela. Mlebu dapur katon bu camat lagi bukaki serbet ing duwur meja cilik, karo ngendikan “Iki jo, mangan sek kene. Iki wes dicepaki karo mbok binah.”
Kang turijo bingung, atine tida-tida. “Piye iki, mangan kene apa mangan bontotan olehe gawani bojone. Nek mangan kene ateges bontotane bojone mengko sing mangan sapa; lha mengko mesti bakal gawe gela atine Sagiyem nek nganti ora kepangan. Yen ditolak kok rasane mangu-mangu, ora sopan nolak pawewehing liyan.” Ngono perang batine kang turijo.
“Ah pisan-pisan nolak pawewehing liyan ora apa-apa. Sing penting bojoku aja nganti kalaran atine.”
“Wes jo gek ndang madang kene” kojahe bu camat buyarake angen-angene kang turijo.
Kanti ati ditatag-tatagake, kang turijo matur kanti swara kang rada mangu-mangu.
“Ngg.. ngg… nggeten bu camat. Niki wau kula dipun sangoni teda saking griya dening Sagiyem, semah kula. Nggih nyuwun ngaputen bu, raosipun kula bade nedi buntelan saking griya kemawon. Nggih sepindah… malih kula nyuwun ngaputen… bu….”
“O.. kowe wes disangoni karo bojomu to jo. Yo wes iki lawuhe wae gawanen kanggo imbuh kanca sega.” Bu camat mesem sajak ngerti karo atine kang turijo.
Kang turijo mesem bungah merga bu camat jebule ora duka, malah ngiyani anggone arep ngrahabi bontotane saka omah. “Nggih bu, matur nuwun.” Kang turijo mesem karo pamitan baline sega bontotane kang ditinggal ing wetan omah.
Saiba kangete kang turijo nalika tekan ing panggonan olehe dheleh bontotan kang wus didudah lan siyap dipuluk mau…
“Hess… hess… minggir-minggir” kang turijo sak nalika setengah mlayu nalika meruhi kucing lima lagi ngrayah sega rantang isi sega lan endog dadar.
Sangu bontotane wes kocar-kacir, kecampuran lemah saka dlamakan kucing kang rebutan bontotan….
“Woalahh… yem yem…..” pangresahe kang turijo mripate brebes mili karo nyawang rantang kang wes korat-karit.(QAP)

Kamis, 22 Januari 2009

Alang-alang

"Lir... ilir...
tandure wus sumilir.....
tak ijo royo-royooo ooo.."
Ing selaning angin kang semribit
Anyep.....
Ing tengahing ara-ara jembar
Kang kinemulan pedhut
peteng.....
Rasa pangrasa iki
Kagugah dening lon-lon
Suara gending gamelan.
Nyebar ganda arum
Pangarep-arep kang wus mupus.
Kabeh katon ijo ngrembuyung
Senajan kuwi amung tukulan
Alang-alang....