Selasa, 24 Februari 2009

Jalan Yang Berbeda

Tadi pagi bapak datang dari desa. Senang rasanya bisa berjumpa lagi dengan bapak. Rasa kangen yang begitu lama terpedam pagi itu terbayar sudah. Hatiku rasanya sejuk sekali, seakan tanah gersang yang tersiram air hujan semalaman.
Lama tidak berjumpa dengan-nya, aku lihat bapak sudah semakin tua. Rambutnya kini semakin dipenuhi dengan warna putih dan hampir-hampir semuanya sudah menjadi uban, wajahnya semakin keriput meski sekarang lebih sumringah cahayanya. Wajar saja... sebab kini anak-anaknya sudah bisa mandiri. Sudah tidak menjadi beban kehidupannya.
Dulu kami tinggal disebuah dusun kecil dilereng bukit, di daerah paling ujung selatan kota yogyakarta, atau lebih tepatnya Gunungkidul. Tidak perlu aku ceritakan panjang lebar tentang kondisi alam desa tempat kami tinggal dahulu dan orangtua kami sekarang. Semua juga sudah tahu, bagaimana gersang dan tandusnya dusun kami. Dan betapa sulitnya kami mencari sumber air bila musim kemarau tiba. Bahkan tak jarang kami harus berbagi air telaga yang keruh dengan ternak piaraan kami.
Adzan subuh baru saja berlalu setengah jam yang lalu, ketika aku mendengar pintu rumahku ada yang mengetuknya. Ketika itu aku pun masih belum beranjak dari atas sajadah yang baru saja aku gunakan untuk alas shalat subuh. Aku terpaksa menghentikan sejenak tadarusku, untuk memastikan bahwa benar ada yang mengetuk pintu.
”tok... tok.... tok. Assalamualaikum” terdengar suara pintu diketuk dan diikuti oleh salam dari suara yang rasa-rasanya sudah amat aku kenal dan sangat aku rindukan.
”Bapak. Yah.. rasanya itu suara bapak.” gumamku dalam hati sambil bergegas menuju pintu depan.
”Waalaikumsalam.” sahutku ketika sudah memasuki ruang tamu.
Sejurus kemudian pintu telah terbuka, dan aku dapati seorang tua renta. Dengan sweater lusuh dan bawaan yang banyak, mengumbar senyuman dibawah terangnya lampu teras rumahku. Aku tak kuasa menahan emosi, kerinduanku yang teramat sangat dalam kepadanya. Dengan serta merta aku memeluknya dan menitikan air mata dipundak rentanya. Pundak yang tiga puluh tahun silam menjadi tempat aku bergelayutan, bermanja-manjaan bersama ke dua adikku.
Aku terlarut dalam kebahagian yang tak terkirakan dan aku masih memeluk erat bapak, ketika istriku tiba-tiba sudah berdiri dibelakangku tanpa aku sadari.
”Oh.. ada tamu ya mas.” sapa istriku.
”Eh.. iya.. iya dik. Ini Bapak. Bapakku dik” aku melepas pelukan dan menyeka titik-titik air mata yang membasahi kelopak mataku.
”Meniko semah kula Pak.” aku memperkenalkan istriku kepada Bapak.
”Wah... wah.. kowe pancen anak lanang tenan le.” ucap bapak sambil tertawa.
Aku hanya tersipu dan merasa tersanjung dengan sindiran bapak yang menaruh kebanggan berlebihan kepadaku.
”Mari masuk Pak” istriku mempersilahkan bapak untuk segera masuk ke dalam rumah. Aku mengambil barang bawaan bapak dan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Kami berdua kemudian duduk berhadapan di meja makan ruang tengah, sementara istriku ke dapur membuatkan minuman untuk kami.
”Bapak biasanya minum kopi dik” aku memberikan informasi ke istriku setengah berteriak, istriku tidak menjawabnya. Dan memang aku tidak memerlukan jawaban darinya.
”Bapak, kula nyuwun ngapunten dereng saged wangsul sak sampunipun saking Menado.” aku memulai pembicaraan. Ya rasanya aku sangat pantas meminta maaf kepada kedua orang tuaku, yang pada saat pernikahanku tidak bisa hadir. Pada saat itu ibu sedang sakit dan rasanya sangat berat untuk melakukan perjalanan jauh ke ujung utara pulau Sulawesi. Peristiwa yang tak kalah mengharukannya waktu itu karena aku harus memulai babak baru dalam hidupku tanpa disaksikan secara langsung oleh kedua orang yang telah sangat berjasa dalam kehidupanku.
”Wes... le ora dadi apa. Kabeh ngono pancen wes ana sing ngatur. Sing penting awakmu slamet lan tansah pinaringan rahayu saka Gusti Allah.” jawaban bapak yang begitu bijak dan menenangkan hatiku setelah sekian lama dipenuhi perasaan berdosa dan bersalah.
”Le.. bapak iki mau durung kober sholat subuh. Mumpung durung byar... bapak arep sholat dhisik yo.” sambung bapak kemudian meminta waktu untuk melaksanakan sholat subuh, sebab tadi sesampainya di agen bis belum sempat sholat.
”Oh.. inggih... inggih Pak. Mangga wonten kamar ngajeng kemawon.” aku bangkit berdiri dan berjalan mendahului Bapak untuk menunjukkan kamar yang aku maksudkan. Sekalian aku bawa barang-barang bapak untuk disimpan di kamar itu.
”Sing kerdus kuwi tinggalen kene wae le. Kuwi titipane simbokmu, mbuh isine mbuh apa.” bapak memintaku untuk tidak usah mengangkut kerdus warna coklat yang diikat dengan tali plastik warna hitam. Aku pun menuruti kemauannya, dan memang rasanya tidak perlu aku membawa serta kerdus tersebut ke kamar.
”Menika kamaripun Pak. Menawi ajeng wonten wingking, ngagem kamar mandi ikang niku mawon.” aku memberitahukan tempat-tempat yang sekiranya diperlukan oleh bapak sambil menunjuk kamar mandi yang ada di samping kamar tamu.
Meskipun rumahku tidaklah terbilang besar, akan tetapi sengaja ku persiapkan beberapa tempat khusus untuk menginap tamu atau sanak saudara yang kebetulan berkunjung.
”Dik, ini lho dikirimi oleh-oleh sama ibu.” aku membawa kerdus yang tadi aku letakkan diatas meja.
”Apa ini mas?” tanya istriku sambil membuka kerdus yang aku berikan.
”Mungkin kripik pisang raja dan singkong. Itu kletisan kesukaanku” jawabku sambil membantu mengeluarkan isi kardus. Beberapa saat lamanya aku berada didapur bersama istriku, dan tiba-tiba aku teringat sesuatu yang biasanya kami lakukan berdua, shalat berjamaah. Kebetulan tadi aku lihat istriku begitu lelap tidurnya sehingga aku memutuskan untuk tidak membangunkannya. Teringat akan hal itu aku lantas bertanya kepadanya ”Eh... sampeyan sudah sholat subuh belum?”
”Ya sudah mas...” jawabnya sambil tersenyum manis.
”Pinter... ” aku menggodanya sambil menyium keningnya. ”Adik memang istri yang paling cuantikk sedunia” sekali lagi aku cium keningnya dan kemudian aku kembali ke ruang tengah.
Bapak sudah menunggu disitu. Duduk menunggu aku sambil memutarkan padangannya ke beberapa sudut ruangan.
”Mangga dipun unjuk kopinipun Pak” aku duduk dikursi sebelahnya sambil mempersilahkannya untuk meminum kopi yang disediakan oleh istriku.
”Iyoo le. Iki mau wes tak icipi.” jawabnya.
”Kuwi photo ngantenanmu yo le” tanyanya sambil melihat ke bingkai foto yang terpasang di dinding. Foto pernikahanku waktu di Manado.
”Inggih Pak.” jawabku singkat sambil menatap kearahnya. Nampak olehku tatapan nanarnya yang seakan menyimpan sesuatu keharuan, kebahagian dan juga kesedihan sekaligus. Semuanya tersirat jelas dari sorot mata tuanya yang redup dan berusaha disembunyikannya.
”Dos pundi kabaripun emak kaliyan adik-adik wonten dusun Pak?” aku memecahkan keheningan suasana yang sejenak melingkupi kami berdua sambil aku nikmati kopi pahit kesukaanku.
”Simbokmu, wes luwih sehat saikine. Lha yo kuwi terus malah reka-reka gawe kripik barang nalika tak kandani yen aku arep tilik kowe, le” bapak memulai cerita kondisi emak.
”Wah nggih syukur alhamdulillah menawi ngoten.” aku tersenyum bahagai mendengarnya.
”Iyo, ning yo tak penging nandangi gawean akeh-akeh. Wingi kuwi olehe gawe yo direwangi karo likmu kartijah. Lha piye to le, simbokmu kuwi yen kekeselen kuwi banjur kumat larane. Sambate jarene dadane ampeg lan watuke banjur ngono kae. Mula saka kuwi tak penging nyambut gawe sing abot-abot.” bapak melengkapi ceritanya.
”Sardi lak nggih taksih nyambut damel wonten solo nggih Pak. Kados pundi kabaripun?”
”Trus kartinah nika teng mojokerto kados pundi kabaripun, sampun setunggal tahun punika boten nate kirim-kirim kabar kaliyan adik-adik.” aku menanyakan kabar adik-adikku yang sudah hampir setahun terakhir ini tidak pernah bertemu dan berkirim kabar. Mungkin bisa dimaklumi karena aku sekarang tinggal di palembang dan bekerja di sebuah perusahaan perkebunan yang sangat jarang-jarang berada dirumah, aku lebih sering berada dilapangan berhari-hari bahkan kadang sampai sebulan baru pulang ke rumah. Bahkan setelah menikah dua bulan yang lalu pun aku belum sempat pulang ke kampung halamanku untuk mengenalkan istriku kepada kedua orang-tuaku.
”Sardi lan Kartinah yo apik-apik wae le.Ning yo ngana kae....” Bapak menyampaikan kabar adik-adikku. Akan tetapi ada sesuatu yang menggantung, yang seakan-akan bapak enggan untuk berbagi. Aku merasa wajib untuk mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan mereka, aku beranggapan adalah hal yang wajar untuk aku pertanyakan, dalam benakku siapa tahu aku bisa membantu mengatasi sesuatu yang mungkin saja menjadi beban bagi orang tuaku. Wajar... ya wajar.. karena aku adalah anak sulung-nya.
”Kados pundi Pak?” aku mencoba menarik bapak kearah pembicaraan yang lebih detil tentang adik-adikku.
”Yo ngana kae le, sardi kuwi bocah sing watake pancen ngana kae. Anggel nekuk atine. Sembarang ki gugu karepe dhewe.” Bapak berhenti sejenak untuk menikmati kue yang disuguhkan oleh istriku. Setelah diselingi dengan meminum kopi yang masih tersisa setengah cangkir lebih, bapak melanjutkan ceritanya.
”Aku bingung anggonku arep nuturi sardi. Bocah nyambut gawe nyah mana nyah mene kok ora cemantel. Senengane kuwi yen bali ubyang-ubyung karo bangsane karmidi, sujak, lan tukin. Yen wes ngana kae trus banjur pada ngombe, rokokkan lan jagongan nganti parak esuk. Duit bayarane prasasat entek gur kanggo nraktir cah-cah kae.” aku mendengarkan cerita bapak sambil menerawang mengingat kembali keadaan disana, mereka-reka bayangan kira-kira seperti apa ketika sardi menraktir teman-temannya. Yang hal itu hampir pasti dilakukan rutin setiap bulan ketika pulang ke Gunungkidul. Terbayang olehku sardi berlaga bagaikan seorang bos besar yang membayar semua kebutuhan pesta anak buahnya.
”Lha yen wayahe balik menyang solo, mesti ngrusuhi simbokne. Njaluki duit kanggo sangu. Yen disauri ora dhuwe, njur ditakoni bayaranane dhewe ning endi. Mesti banjur nesu. Lunga ora pamitan.” Bapak menjelaskan lebih panjang lebar mengenai kebiasan Sardi, sambil menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir kopi dihadapannya.
”Sruppp...” diselingi dengan hirupan kopi yang mulai dingin bapak melanjutkan ceritanya.
”Ning yo ora dadi apa. Pancene bocah ki dhuwe tabiat dhewe-dhewe.” lanjutnya memaklumi tabiat anaknya.
”Kartinah kae saiki ning kediri melu bojone, anake lanang siji kae saikine wes esde kelas siji. Mbuh jare bojone saiki lali ora cekel gawean, perusahaan nggone nyambut gawe kukut kena krisis moniter.” bapak melanjutkan ceritanya tentang keadaan Kartinah, adik bungsuku, yang sekarang tinggal di Kediri. Suaminya sudah tidak bekerja karena perusahaan tempatnya bekerja sedang bangkrut terkena imbas krisis monoter.
”Nggih mugi-mugi sami sehat lan diparingi sabar nggih Pak.” aku mencoba menghibur Bapak dengan mendoakan adik-adikku semuanya.
”Iyoo le... ” jawab bapak singkat.
----xxx---
”Deng... dong.. deng... dong...” jam bandul ukiran khas jepara berbunyi nyaring dari sudut ruangan. Seakan memanggil aku untuk memperhatikannya sejenak, mencari-cari perhatian dari kami berdua yang tengah asyik berbincang-bincang. Jarum jam yang berwarna kuning keemasan menunjuk ke angka tujuh dan dua belas, wah.. tanpa terasa sudah dua jam lebih kami berbincang-bincang.
”Wes jam pitu le, apa ora budal nyambut gawe?” bapak bertanya sembari mengingatkan aku untuk berangkat bekerja.
”Inggih Pak, dinten menika wonten janji kaliyan suplier wonten kantor pusat. Kula bade siyap-siyap rumiyin nggih Pak” aku beranjak dari kursi sambil meminta ijin untuk pergi mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor.
”Yo kana gek cekat-ceket wes awan.” saut bapak sambil beranjak juga dari tempatnya duduk dan berjalan ke teras rumah. Mungkin ingin menikmati suasana pagi hari di kota Palembang ini.
Usai mandi dan berganti baju kerja, aku hampiri bapak yang sedang duduk di kursi di teras depan rumah sambil menikmati rokok sigaret kegemarannya. Harum khas tembakau yang terbakar mengingatkanku pada kebiasaan bapak di desa. Yang gemar sekali menghisap sigaretnya sambil memberi makan ayam-ayam piaraannya di kandang belakang rumah.
”Mangga Pak, dahar sarapan rumiyin” sapaku sambil mengajaknya untuk sarapan pagi bersama-sama.
”Wes kana, sarapana dhisik. Aku mengko-mengko wae.” bapak memalingkan wajahnya ke arahku sambil memerintahkan aku untuk sarapan sendiri, karena beliau belum berminat untuk sarapan.
Aku pun bergegas ke ruang makan untuk sarapan, dan tanpa perlu memaksa bapak untuk sarapan pagi bersama. Aku sudah hapal betul dengan kebiasaan bapak yang tidak senang dipaksa untuk melakukan sesuatu, sebelum beliau menginginkannya sendiri. Dan lagi pula aku tidak ingin menganggu keasyikannya dalam menikmati sigaret. Apalagi sangat kebetulan sekali di halaman depan rumah ada dua ekor ayam hutan di dalam sangkar yang tak henti-hentinya berkokok dengan suaranya yang khas itu.
Selesai sarapan, aku mengeluarkan Toyota Land Cruiser yang dipinjamkan kepadaku untuk memudahkan aku melakukan tugas pekerjaan sehari-hari. Mobil aku parkir di car port, aku turun dari kendaraan dan kubiarkan mesinnya tetap menyala. Kuhampiri bapak yang masih terlihat asyik di teras rumah.
”Kula kesah rumiyin nggih Pak.” Kuulurkan tanganku untuk berpamitan kepadanya.
”Iyo.. le. Sing ati-ati ning dalan” ucapnya meminta aku untuk berhati-hati dijalan.
Kemudian aku hampiri istriku yang cantik dan berpamitan kepadanya ”Aku pergi dulu ya sayang.” tak lupa sambil mencium keningnya.
Aku bergegas kembali masuk ke mobil, perlahan-lahan aku meninggalkan halaman rumah. Dan bergabung dengan sibuknya lalu lalang kendaraan di jalan raya kota Palembang. Jarak dari rumah ke kantor cukup lumayan, kira-kira memerlukan waktu hampir satu jam perjalanan. Maklum namanya juga perusahaan perkebunan, meskipun namanya kantor pusat; tetap saja lokasinya jauh dipinggiran kota.
Sepanjang perjalanan aku kembali teringat akan adik-adikku, perjalanan nasib yang membawa kami ke jalur yang berbeda-beda. Aneh memang rasanya, padahal kami lahir dari benih yang sama, tumbuh dari rahim yang sama, tetapi tumbuhnya membawa nasib sendiri-sendiri. Itulah kenyataan hidup yang kadang keluar dari logika manusia yang sangat terbatas ini.
”hmm benar juga pepapatah orang jawa dulu. Endog sak petarangan netese beda-beda” gumamku teringat pelajaran dari guru bahasa jawaku dulu di es-de.
”Endog sak-petarangan netese beda-beda” - Telur dalam satu sarang menetaskan anak ayam yang berbeda-beda warna bulunya, begitu juga gambaran hidup manusia. ~~QAP~~

2 komentar:

  1. bapak anak akur ya, aku ngiri...

    ya, bagus-bagus

    BalasHapus
  2. He he... cerkakmu ya apik-2 mas. :)
    kuwi sing peteng-2 pada glenikan wong loro :)) :))

    BalasHapus