Selasa, 29 April 2008

Pertemuan Istimewa I



“Monggo, ini Mas tiket Pesawatnya pulang pergi...”

“Dan ini uang sakunya Mas, sugeng tindak. Semoga selamat sampai tujuan” kata Mbak sari bagian keuangan yang biasa mengurusi perjalanan dinas di perusahaan tempat aku bekerja; sambil mengulurkan 2 buah amplop putih berlabelkan nama perusahaan.

“Oh.. inggih. Terimakasih Mbak” jawabku sambil menerimanya.

“Kira-kira nanti di surabaya berapa hari Mas?” tanyanya kemudian.

“Yah, sesuai dengan penugasan saja Mbak. Malas aku sebenarnya pergi-pergi.” Sautku sambil tersenyum.

“Mau nitip apa Mbak dari surabaya” aku balik bertanya, sekedar basa-basi.

“Nitip apa yoo… terserah sampeyan saja Mas.”

“Oh yo mas, aku ke ruanganku dulu yoo.. masih banyak kerjaan yang belum selesai. Hati-hati saja mas besok kalau berangkat, ingat pesawatnya jam 7 pagi dari adi sucipto, sampeyan kudu isuk-isuk berangkatnya.” Jawab mbak sari sambil berjalan keluar ruanganku.

Aku hanya menggangguk dan melempar senyuman kepadanya.

Ini adalah perjalanan yang sangat berat sekali rasanya bagiku. Bagaimana tidak, setelah kutinggalkan surabaya 10 tahun yang lalu; dengan memendam perasaan yang sangat perih, pedih dan menyiksa jiwaku kala itu kini aku harus kembali mengunjunginya. Dan ini harus aku jalani sebab ini adalah tugas kewajibanku sebagai seorang profesional, padahal aku sudah bersumpah tak akan menginjakkan kaki dimana luka itu pernah menggores dahulu. Yah! apa boleh buat aku mesti menjilat ludahku sendiri, tak tahu apa nanti yang terjadi.


Aku termenung menatap jendela ruang kerjaku, angin yang berhembus pelan dari jendela membawa anganku menerawang jauh ke masa sepuluh tahun yang lalu. Siska… ya siska… bayangan itu kini kembali bergelayutan di kelopak mataku. Paras wajahnya yang ayu, senyumnya, gelak tawanya, dan sikapnya yang manja… masih tergambar dengan jelas dalam benakku. Terbayang masa-masa dimana kami sering berjalan berdua menyusuri jalan-jalan di kota surabaya…. Bersenda gurau di pantai kenjeran sambil menikmati sang surya yang pulang ke peraduannya.


“Balik-balik wes sore…!” Lamunanku buyar saat karminto teman kantorku mengetuk pintu ruangan.

“Yo bentar lagi Pak dhe.” Jawabku sambil melihat ke arahnya yang telah berlalu sambil melambaikan tangannya kearahku.


Aku lihat jam dinding yang tergantung di atas televisi 20 inc di meja depan tempat aku duduk sekarang, sudah menunjukkan jam empat lewat limabelas menit. Memang sudah saatnya pulang, meski hari masih terlihat terang karena matahari masih memancarkan cahaya di sebelah barat sana, bertengger diatas pepohonan yang sebagian daunnya sudah jatuh meranggas diterpa angin musim panas bulan agustus.


“hah ya sudahlah mau apalagi” gumamku. Kuberesi bahan-bahan yang mesti aku bawa ke surabaya esok pagi. Aku periksa kembali file-file dilaptopku agar jangan sampai ada yang terlewatkan. Setelah aku yakin semuanya sudah ada, aku shutdown komputer dan laptopku, kutunggu beberapa saat untuk memastikan power-nya off, sambil merapikan berkas-berkas dimeja yang berserakan. setelah benar-benar off aku gulung power suply laptopku dan kemudian aku simpan kedalam tas beserta laptopnya dan bergegas pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah, kembali lamunanku bergerak ke kota surabaya. Kembali bayang-bayang siska menghantuiku pikiranku. Mataku berkaca-kaca mengingat kejadian malam itu. Malam dimana prahara yang sangat menyayat hati dan mencampakkan harga diriku sebagai seorang yang rendah dari kaum yang termarjinalkan di tengah eklusifnya kehidupan kaum elit surabaya. Malam yang takkan pernah aku lupakan sepanjang sisa hidupku di dunia ini. Ah seandainya saja waktu itu aku dengarkan nasehat ibuku, mungkin aku tidak akan mengalami sakit yang teramat pedih itu.

Kunyalakan radio di mobilku, biasanya sore-sore begini radio rakosa fm menyiarkan lagu-lagu kenangan. Lumayan buat membuang kegalauan pikiranku, sehingga aku bisa sedikit rileks. Lampu lalulintas di perempatan cemara tujuh sudah menyala hijau, aku hapus butiran-butiran air mata yang mulai menitik dengan telapak tanganku. Aku injak pedal gas pelan-pelan menyusuri jalan kaliurang, dengan perasaan yang setengah-setengah dan berharap hari esok tidak segera datang.(bersambung)